Apa reaksimu, ketika ngobrol dengan orang yang suka latahan?
Tertawa, gemas, senang, atau kesempatan untuk menggodanya?
Jangan seperti itu. Kita seharusnya berasa prihatin pada orang yang suka latah.
Seorang menjadi latah itu bisa jadi bukan dibuat-buat atau karena kemauan sendiri, melainkan latah terjadi karena tekanan mental, depresi, atau suatu penyakit.
Cobalah untuk mengerti dan belajar memahaminya.
Seperti yang saya lakukan pada gadis tetangga baru sebelah rumah itu.
Awalnya saya ingin bersay helo dengan gadis itu, ketika A tengah menyapu halaman rumah. Sekadar untuk menyapa, meski hampir dua minggu bertetangga, kita belum berkenalan.
“Hai … pagi…!”
“Hai … pagi juga …!”
Dari sekadar tegur sapa itu lalu perbincangan memanjang dan menjadi akrab.
Saya mengetahui A latah, karena kata-kata saya sering diulangnya, terkadang ia seperti kagetan.
Saya tidak tertawa, atau ingin mentertawakannya. Bahkan saya bersikap pura-pura tidak menyadari kegagapannya. Saya tidak ingin ia menjadi minder atau tersinggung, karena saya menghargai dan menghormatinya.
Keakraban saya dengan A berlanjut ke arah pacaran, lalu berlanjut ke jenjang yang lebih serius.
Ibunya A banyak cerita mengenai puteri bungsunya itu. Mulanya, A tumbuh sebagai gadis ceria.
A mulai latahan sejak duduk di bangku es-em-pe, ketika ayahnya kecelakaan dan meninggal dunia. Jiwanya terpukul, karena ia dekat sekali dengan ayahnya.
Bisa jadi A latah, karena ingin mencari perhatian. Pribadinya yang minderan dan tertutup, membuat ia dijauhi teman. Padahal sebenarnya A itu supel dan ceria. A bisa akrab dan dekat dengan orang tertentu dan cocok dengannya.
Dengan sabar dan penuh perhatian, saya mengajari A untuk mengontrol diri agar tidak mudah kagetan, mengubah pola pikir, dan semakin percaya diri agar sifat latahnya semakin berkurang.
Untuk melihat perubahan sifat latah A, jika ke rumahnya, saya sering memberi kejutan dengan membawa makanan atau barang kesukaannya.
“Apa ini mas?” tanya A sambil mengamati saya. Ia menggoyang dos itu, tapi tak ada suaranya. A semakin penasaran.
“Bukalah,” kata saya sambil tersenyum.
A membuka dos pertama, lalu dos kedua dengan hati-hati.
“Isinya apa sih?”
“Kalau diberi tahu berarti nggak kejutan dong,” goda saya. A pura-pura cemberut. Wajahnya yang kemerahan membuatnya semakin cantik. Dos yang kelima, yang terakhir dibuka … di antara guntingan koran itu tersembunyi cincin berlian.
“Wow, cantik dan indah, mas …!” pekik A.
“Ya, cantik dan indah sepertimu, dong …!”
“Mas melamarku?”
“Ya, aku melamarmu,” kataku lembut.
“Aku sayang padamu, mas,” A langsung memeluk saya.
“Aku sayang padamu juga …,” saya ganti semakin memeluk A. Lalu, tiba-tiba saya mendorong A.
“Ada apa, mas?” A menatapku heran.
“Ada apa, Dik?” Saya tersenyum menggoda. “Astaga, sekarang ganti saya yang latah ….”
A memukul dadaku dengan manja. Dan tawa kami pun pecah.
Ciledug, 100322