Seide. Dua hari lalu saya mendapat telp dari Rahman, sahabat nelayan di Ternate, Maluku utara, yang saya temui April 2019 lalu saat saya kebetulan berkunjung ke pulauTernate dan Morotai.
Pertemuan yang serba kebetulan di tepi pantai, Rahman dan 7 anak buahnya hadir lengkap karena mereka mau pergi mencari ikan esau, ikan kecil yang biasa dipakai umpan untuk mancing ikan tuna dan cakalang di tengah laut.
Benar, Rahman dan kawan-kawan adalah nelayan cakalang yang mengandalkan penghasilan untuk keluarga mereka dengan cara memancing. Ya, memancing, bukan menjala!
Nelayan cakalang/tuna adalah nelayan primadona bagi lingkungan laut. Tidak seperti nelayan pukat, cantrang atau trawl yang membabat habis semua jenis ikan, besar kecil, karena jaring nelayan jenis ini ratusan meter bahkan ribuan meter panjangnya!
Kapal FV. Viking yang berhasil ditangkap menteri Susi Pudjiastuti, saat ia menjabat menjadi menteri KKP, memiliki berat kotor 1.322 ton, dengan panjang jaring (awas, jangan kaget) hingga 399km!
Itu setara jarak Jakarta ke Semarang yang 444 km! Mereka menyeret jaring dan merampok apa saja isi laut karena jaring yang dipakai adalah jaring rapat!
(Bila Anda berkunjung ke Pangandaran, Anda akan melihat bangkai FV. Viking yang tergolek tak berdaya disana. Menteri Susi sengaja menjadikan kapal itu sebagai monumen: peringatan bagi kita betapa sangat merugikan kapal pencuri ikan itu!)
Nah, sebaliknya, pemancing Cakalang hanya mengambil ikan yang besar saja. Kail yang dipakai adalah jenis besar hingga mustahil bagi ikan kecil bisa melahapnya!
Karena itu, pemancing cakalang sangat tergantung sekali pada ekosistem laut. Bila laut terjaga, ikan utuh, maka ikan dapat tumbuh menjadi besar dan dapur ribuan nelayan cakalang seperti Rahman bisa tetap berasap. Perut kenyang dan jutaan anak-anak bisa sekolah!
Sebaliknya, bila lingkungan laut rusak, ikan digaruk sampai dasar laut dan menyapu ikan berbagai ukuran, maka ekosistem rusak. Jangankan bisa dipancing, ikan tumbuh besar pun tak sempat! Laut habis!
Mengherankan, masuk tahun 2021. Rahman tak lagi berkontak ria seperti biasanya. Dulu, sepanjang 2019, suaranya akan terdengar renyah, tentu, karena ia bisa membawa banyak ikan ke rumah. Sekarang…??
Maka, setelah cit-cat tanya kabar, Rahman pun berkeluh kesah,
“Sekarang ikan tak seramai dulu, Bang. Dua hari lalu malah kosong sama sekali. Nihil. Kasian anak-anak (anak buah)”
Dulu, Rahman tak perlu melaut jauh-jauh, sekitar 20 km ke arah utara Pulau Morotai pulangnya kapal sudah penuh ikan, modal BBM, bekal makan, kopi dan rokok sebesar satu juta rupiah bisa tertutup dengan mudah.
“Pulangnya, kami, delapan orang, bisa bawa pulang masing-masing sekitar satu juta rupiah. Lumayan sekali untuk kerja sehari penuh, berangkat subuh pulang menjelang jam 7 malam”
Rahman langsung menyambung, “Sekarang, kami harus pergi lebih jauh, dan belum tentu dapat ikan!”
Itu berarti lebih banyak lagi BBM dan bekal yang harus dibawa. Ujungnya: hutang menumpuk. Nelayan biasanya kas-bon pada bos pemilik kapal atau saudagar BBM dan juragan sembako untuk melaut.
Atas keluh kesah ini, saya tentu tak bisa berbuat apa-apa. Hanya mendoakan saja semoga esok laut membaik dan memberi banyak hasil.
Laut membaik??
Tak semudah itu ferguso….