Seorang pemuda turun dari mobil, lalu masuk ke toko. Senyumnya yang khas membuat pikiran Nyong cepat teringat pada pemuda itu.
Sekitar empat-lima tahun yang lalu ia ke toko disuruh oleh bosnya agar sepulang jualan roti untuk belanja plastik.
Pakaiannya lusuh dan sorot matanya lesu. Ia duduk di depan meja. Lalu mengalir obrolan antara pedagang dan pembeli.
Ia biasa jualan keliling pukul 7 pagi, dan pulang ke pabrik sebelum sholat Zuhur. Lalu acara rutinnya makan siang, tidur, sesekali nyuci pakaian, dan ngrumpi hingga malam.
“Ga tertarik punya pabrik sendiri?”
“Pengin, tapi ga punya modal.”
Jawaban klise yang membosankan. Kenapa? Sekadar keinginan tanpa mau berpikir dan berjuang untuk mewujudkannya.
“Siangnya nggak berangkat dagang lagi? Sayang, waktu terbuang untuk ngobrol. Kan ingin punya usaha sendiri.”
“Dagang lagi yang untung bos!”
Lho?!
Nyong kaget mendengar jawaban itu. Banyak roti laku, keuntungannya untuk bos. Memperkaya bos. Padahal ia juga menikmati keuntungan itu. Kesalah-kaprahan menilai orang dari sisi negatif itu jahat. Apalagi, jika bos roti kaya dan banyak asetnya. Iri hati itu meracuni diri sendiri.
Nyong lalu berusaha memperbaiki pola pikir pedagang yang keliru itu dengan kata-kata yang gamblang dan mudah dimengerti.
“Kalau ingin punya usaha sendiri, ya, nabung. Hemat. Hidup prihatin. Tidak selamanya jadi pedagang, kehujanan dan kepanasan. Lebih asyik itu jadi bos untuk diri sendiri, walau usahanya kecil.”
Berbagi ilmu dan trik berwirausaha itu biasa Nyong lakukan, jika melayani pelanggan. Memotivasi itu asyik seperti menyemangati diri sendiri. Apalagi jika saran itu diikuti dan berhasil guna.
Kebanyakan usaha rumahan itu sekadar coba-coba, menyambung hidup, atau latah alias ikut-ikutan yang lain. Tanpa perencanaan yang jelas, berpromosi, pengembangan usaha, dan meraih target. Mereka sekadar mengikuti air mengalir.
Kelemahan lainnya, mereka kurang disiplin dalam mengelola keuangan. “Besar pasak daripada tiang.” Padahal berwirausaha itu ibarat membangun rumah. Fondasinya kudu kuat. Fondasi itu modal. Bagaimana mungkin miliki modal kuat, jika malas menabung dan boros?
Yang utama adalah mengelola keuangan dengan baik. Hidup prihatin, menyisihkan keuntungan, dan kebutuhan yang tidak penting dihilangkan. Tujuannya menambah modal untuk pengembangan usaha.
“Masih ingat saya, Mas Redjo?” sapa pemuda itu sambil menyalami Nyong.
“Ingat, kalau dulu lusuh, sekarang keren,” canda Nyong sambil tertawa.
“Ya ya, yang penting ga pangling.”
Pembicaraan mengalir akrab.
Ia lalu bercerita mengenai usahanya yang termotivasi dan terinspirasi oleh kata-kata Nyong.
Ia membuka usaha pabrik roti kecil-kecilan dan menjualnya sendiri. Untuk meminimali pengeluaran, ia tak mau bergantung pada orang lain. Semua dikerjakan semampunya, dibantu oleh beberapa saudaranya.
“Sekarang udah maju? Mobil ini hasilnya?”
“Puji Tuhan, belum. Kata Mas Redjo, kita tidak boleh berpuas diri. Mobil ini juga untuk ngirim roti ke agen.”
“Kedatangan saya ke sini, karena ingin nyetak kemasan OPP laminasi,” jelasnya, lalu ke mobil. Ia kembali sambil menenteng kresek berisi roti. “Untuk Mas Redjo.”
Hati Nyong mengharu. Nyong pikir, ia lama menghilang entah ke mana. Ternyata ia pulang kampung ke Bogor untuk berwirausaha roti sendiri. Dan ia tidak melupakan Nyong, bahkan memberi order kerjaan.
Semoga semakin banyak orang miliki jiwa kewirausahaan. Menjadi bos untuk usahanya sendiri. (MR)