Lelah Mendengar Tausyiah

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

DI SETIAP bulan Ramadan tiba, saya banyak menerima undangan buka puasa, baik yang rumahan, kantoran atau dari lembaga. Resmi maupun tidak resmi. Bagian yang melelahkan dari acara buka puasa adalah mendengar tausyiah dari ustadz dan ustadzah, yang dihadirkan di sana. Sangat menguras energi, sangat melelahkan, meski hanya beberapa menit.

Saya sudah terlalu tua untuk dinasehati dan diceramahi. Apalagi dalam keadaan haus dan lapar, jelang bedug Magrib. Saya tak butuh tausyiah! Saya butuh silaturahmi, kangen kangenan, cakap cakap, nostalgia, kenalan baru dan ha ha hi hi. Saya butuh air kelapa, kueh, atau teh hangat, kudapan biji salak atau kolek.

Nampaknya memang begitu banyak setan bersemayam di dalam diri saya. Dan mereka sangat betah! Setiap kali pembawa acara menyebut, “Mari kita dengar tausyiah dari…” kuping saya langsung menegang dan cepat naik suhunya sehingga menjadi panas. Bahkan kepanasan.

Bersamaan dengan itu, instink kewartawan saya – yang terasah bertahun tahun – langsung bereaksi; “Adakah yang baru, yang disampaikannya? Adakah yang aktual? Apa yang istimewa? Apa yang penting? Relevan? Adakah yang berguna? Ada yang kontekstual dengan situasi hari ini? Adakah bagian yang menarik untuk dikutip dan diberitakan atau di share?”

Dan saya sering gagal mendapatkannya.

Banyak ustadz dan penceramah yang cenderung “memamah biak”. Mengulang ulang ceramahnya, berkisah zaman nabi cerita dari kehidupan 14 abad lalu lalu menghubungkannya sebagai hikmah untuk kehidupan hari ini. Mereka asyik dengan pikirannya sendiri, text book, kurang update atau kurang bacaan. Minim literasi. Sekadar mengutip ayat. Atau mendongeng.

Mereka tak sadar sedang menghina kecerdasan umat dan pendengarnya. Terutama kepada jemaah yang sudah tua seperti saya. Jujur, telinga dan kecerdasan saya sering terganggu karenanya.

SAYA belajar mengaji sejak belia, sejak belum sekolah, dituntun kakak ke guru ngaji dan mushala. Pakai sarung dan bakiak – sendal dari kayu. Bawa penerang obor dari bambu.

Saya dapat pejaran agama sejak SD hingga SMA, selanjutnya jadi anggota dua perpustakaan (umum dan mahasiswa) dimana buku buku kajian agama masuk dalam bacaan saya, selain sastra, filsafat dan sains.

Saya membaca koran sejak SD dan sejak jadi wartawan, yang saya bukan hanya satu koran, melainkan 3 sampai 5 koran. Setiap hari! Belum lagi majalah mingguan dan bulanan. Update terus menerus. Rubrik agama masuk dalam bacaan saya meski tak rutin. Belum lagi nonton kajian agama di media elektronik, sejak zaman Hamka di TVRI, KH Zaenuddin MZ, KH Quraish Shihab, Gus Baha, dll.

Jadi – kurang paham apa saya dalam pengetahuan agama? Saya juga banyak sahabat NU dan Muhamadiyah dan diskusi langsung dengan mereka.

ORANG orang yang memberikan tausyiah umumnya usianya jauh di bawah saya. Penampilannya agamis dan modis, wangi, tapi wawasan dan kecerdasannya tidak. Out of date. Banyak mengulang ulang, dengan atraksi menuding nuding, menunjuk nunjuk, menekan kata kata, sok teatral. Seakan kami – yang tua tua ini – makhluk dari udik, tak pernah mengenyam sekolah, dan begitu bodohnya. Butuh nasehat agama yang teramat sangat.

Sialan! (Ups..)

DALAM menghadapi situasi ini, saya biasa mencari posisi dekat pintu. Cari cari alasan buat menjauh, pura pura ke kamar mandi, lalu ke teras atau ke kebun, ke lobby, kumpul dengan yang senasib, sampai bagian tausyiah selesai.

Setan yang bersemayam dalam diri saya benar benar kepanasan. Tidak tahan.

Padahal – kalau mendengar lagu The Beatles, Deep Purple, Nazareth, God Bless, Koes Plus atau Dien Piesesha asyik asyik saja. Bahkan tanpa sadar ikut mendendangkan lagu lagu mereka.

Wah! Parah ini! Ha..ha..ha…***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.