Tiba-tiba aku ingin tampil macho dan keren. Lalu foto profil di wall yang biasanya gambar unik itu kuganti dengan foto pemuda yang macho dan gagah.
Astaga! Tiba-tiba inboxku dibanjiri permintaan pertemanan, khususnya dari para gadis. Wow!
Dari sekian banyak foto gadis itu terdapat komentar gadis teman lamaku. Mengejek, menyakitkan, tapi konyol.
“Profilmu berubah dari ungkapan kesendirian dan kesedihan jadi wajahmu yang sebenarnya atau pinjeman?”
“Pinjeman. Nemu di mall. Agar aku lebih percaya diri untuk pergi ke rumahmu.”
“Kau pasti kecewa dan menyesal, karena aku juga orang yang berbeda. Foto profilku juga nemu di pasar.”
Ceplas-ceplos, menjengkelkan, dan konyol! Itu ciri khasnya.
“Selama ini kau menguatkanku untuk percaya diri. Jika kita ketemu langsung, aku jadi lebih siap dan pasti kuat nerima kenyataan pahit. Aku mau melihat mbakyu yang jualan di pasar. Aku mau ke rumah, semoga kau mau pakai kain sama tenggok,” kataku tak mau kalah.
“Serius nih?!”
“Kau takut, gemeteran, atau mau kabur, jika melihatku mengenakan kostum wayang orang…” Tawaku lepas dengan simbol emotion.
Lalu terjadi kesepakatan. Gadis itu, An memberi alamat rumahnya. Hampir 2 tahun mengenalnya di medsos, aku mau menjumpainya. Penasaran. Atau aku mulai tertarik padanya?
Di hari, tanggal, dan jam yang telah ditentukan, aku menunggu dengan tidak sabar. Entah karena grogi, hatiku berdebar seperti bedug.
Dengan naik gojek, dan tanpa kesulitan, aku ke rumah An di bilangan Ciledug.
Kupencet bel, hatiku makin tak karuan.
Pintu rumah dibuka. Seorang gadis cantik muncul dengan kursi roda. Ia menyambutku dengan senyum menawan.
“Mas Redjo…?!”
“Ya. Kau, An…?” kataku tercekat.
“Ya. Ande-ande lumut,” selorohnya. Candaan yang khas. Mungkinkah ini An, temanku itu? Aku meragu sesaat. “Ragu, tak percaya, atau kaget?” katanya lagi.
Aku menggeleng untuk menutupi malu dan kegugupanku. Bunga yang telah kusiapkan di balik jaket itu urung kukeluarkan.
“Kok bengong … ayo, duduk,” An menyilakanku duduk. Di belakang kursi roda An, kuhela nafas. Perasaanku berkecamuk.
Aku duduk, An di depanku. Kukeluarkan bunga itu dari balik jaketku.
“An, sekiranya kau berkenan…”
“Kok ga ada romantisnya?” seloroh An sambil menatapku tajam. “Ini serius?”
“Ya! Emang aku bercandaan? Apa aku mesti jongkok di depanmu?”
“Sebagai ungkapan, atau…? Kau mau menerima keadaanku yang seperti ini…?” gumam An sedih.
“Ya, aku menerima keadaanmu. Bukan karena kasihan, melainkan aku ingin makin mengenalmu lebih dekat. Kuharap kau juga mau menerima keadaanku juga. Boleh kubuka topeng ini…?”
Tanpa menunggu jawaban An, aku melepas topeng kulit wajah itu.
“Kau…!” An kembali terperangah.
“Wajahku ini juga asli! Kalau dulu wajahku yang codet itu juga topeng. Aku ingin melupakan masa laluku yang buruk, terutama setelah aku mengenalmu,” kataku sambil menggenggam jemari An.
“Kau serius mau menerima keadaanku?” tubuh An berguncang menahan haru.
“Ya, apa aku harus bersumpah…?”
An menggeleng. Jari An menyentuh bibirku agar aku tidak banyak bicara.
“Kursi roda ini juga punya kakakku,” jelas An lagi. Ia lalu berdiri dari kursi roda.
Sekarang, ganti aku yang melongo!
Ciledug, 23 Agustus 22
Foto : Gerd Altmann/Unsplash