Lelaki itu merintih dalam diam. Hatinya sakit-sesakitnya dan nyeri sekali. Ia dihadapkan pada pilihan dilematis dan teramat sulit. Ia harus memilih, antara Ibu atau keluarga!
Surat istrinya, An yang pendek itu menyiratkan kemarahan, dan itu sungguh melukai hatinya. An tidak sekadar mengancam, tapi langsung pergi membawa serta anaknya yang semata wayang, In.
Kemarahan An dipicu, karena ia membawa Ibu ke rumah sakit, sebab suara Ibu pelo. Menurut penjelasan temannya yang seorang dokter, Ibunya gejala stroke.
Pagi itu ia segera membawa Ibu ke RS untuk memeriksa kesehatannya. Ternyata benar, Ibu gejala stroke. Sehingga Ibu harus opname.
Ketika sore hari ia pulang, istrinya pergi membawa anaknya tanpa pamit, dan meninggalkan pesan untuk memilih: Ibu atau keluarga!
Ketika ia menghubungi An, teleponnya dimatikan. Mungkinkah An pulang ke rumah orangtuanya? Ia lalu menelpon orangtua An. Dari Ibu mertuanya, ia tahu, kalau An tidak pulang. Karena mertuanya juga kaget saat ditanya tentang An. Lalu…?
Pikirannya makin kalut. Hatinya makin risau. Di satu sisi ia was-was, jika terjadi suatu yang buruk pada istri dan anaknya. Di sisi lain ia memikirkan kesehatan Ibunya yang berbaring di RS.
Padahal, sejak awal, ketika kenal dengan An, ia telah berterus terang tentang jati dirinya. Sesungguhnya Ibu yang merawat dan mengopeni ia sejak kecil itu, bukan Ibu kandungnya. Ia ditemukan oleh Ibu di pinggir kali lalu diangkatnya sebagai anak, setelah tidak ada orang yang mengakuinya.
Sesungguhnya, ia juga kaget dan tidak menyangka, karena tidak biasanya An marah, hingga pergi membawa anak.
Sejak kena phk An juga sering mengomentari kerja Ibu yang makin lamban, pikun, dan seterusnya.
Ia pernah minta pada An untuk sabar dan memahami usia Ibu. Jika mau, An dapat menggunakan ART untuk membantu pekerjaan di rumah, tapi An menolak.
Kini An menghilang bersama anak semata wayangnya entah ke mana. Yang membuat jiwanya terpukul adalah An mengancamnya agar memilih Ibu atau keluarga!
Jujur, ia tidak memilih. Ia menolak keduanya. Karena mereka sangat berharga baginya. Konflik keluarga itu yang selalu jadi korban adalah anak. Ia tidak mau anaknya mengalami nasib sepertinya.
Ia menghela nafas panjang untuk mengusir hatinya yang galau.
Kini, yang penting ia menemukan An dan anaknya lebih dulu. Ia akan menghubungi teman-teman kerja An yang dulu, lalu kembali ke RS untuk membawa baju ganti Ibu.
Sesampai di kamar VIP Ibu, ia terperangah, karena istri dan anaknya ada di sana!
An menyongsongnya.
“Mas, maaf. Jangan menyinggung surat itu, ada Ibu. Saya akan menjelaskannya,” pinta An sambil mengambil tas pakaian ganti untuk Ibu.
Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Hatinya pun jadi lega. Lega sekali.
Ia lalu mengelus kepala anaknya yang sedang bicara dengan Mbah Putrinya.
“Jangan berisik ya, sayang.”
“In nggak berisik ya, Mbah,” kata In. Ibu tersenyum melihat polah cucunya.
Sore yang semarak. Kebahagiaan keluarga terasa utuh dalam kebersamaan nan damai.
…
(Mas Resdjo) RED-JOSS