Komandan Batalion Tjakrabirawa ini layak mengutip apa yang disampaikan Bapak Pendiri Republik, Tan Malaka: “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi” . Letkol (Inf) Untung Samsoeri saat dibawa ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Oleh DIMAS SUPRIYANTO.
SEJAK 1966 PKI dinyatakan sebagai partai terlarang, dan secara berkala dikuatkan dengan undang undang menolak penyebaran komunis di Indonesia. Kita sepakati itu. Namun, peristiwa G30S PKI dan pidato Letkol Untung Komandan Batalion I Tjakrabirawa, setelah aksi penculikan para jendral, pada siaran radionya yang pertama di RRI, masih terngiang dan menemukan kenyatannya kemudian.
“Jendral jendral dan perwira perwira yang gila kekuasaan, yang menelantarkan nasib anak buah, yang di atas penderitaan anak buah bermewah mewah dan berfoya foya menghina kaum wanita dan menghambur hamburkan uang negara, harus ditendang dari angkatan darat dan diberi hukuman setimpal! “
Sejarah ditulis oleh para pemenang – kata orang bijak. Maka pidato Komandan Batalion 1 Tjakrabirawa itu dianggap sekadar mencari alasan dan pembenaran untuk merebut kekuasaan.
Aksi G30 S ditumpas, Letkol Untung ditangkap dan dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) di mana dia dijatuhi vonis hukuman mati pada 6 Maret 1966.
Ada sembilan (9) nama pentolan G30 S yang mendapat ekseskusi, selain Letkol (Inf) Untung Samsoeri, yaitu Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya) dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim). Aksi mereka didukung oleh Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) sebagai badan intelijen PKI.
Peneliti seperti Ben Anderson dan Ruth McVey menyebut bahwa gerakan itu adalah peristiwa internal Angkatan Darat (AD) dan terutama menyangkut Kodam Diponegoro.
Sejarah mencatat, terjadi perubahan drastis, paska meletusnya G30S : rangkaian pembunuhan besar besaran – genosida – menyebabkan tak kurang tiga (3) juta nyawa melayang, sebagian besarnya warga tak berdosa, sekadar ikut ikutan. Sebagiannya lagi dieksekusi dan dipenjara tanpa pengadilan. Dikirim ke Pulau Buru.
PKI – partai ke empat terbesar di Indonesia dan terbesar di dunia – yang oleh Aidit diklaim punya pengikut 10 juta, tamat riwayatnya.
ORDE BARU muncul, menggantikan Orde Lama. Pangkostrad Mayjen Soeharto naik tampuk kekuasaan dan Angkatan Darat mencapai puncak kekuasaannya, menjadi anak emas. Sedangkan Angkatan Udara – akibat dugaan keterlibatan Jendral Omar Dhani – menjadi anak tiri.
Kehidupan para jendral Angkatan Darat di zaman Orba (1067 – 1998) saat berkuasa, persis seperti yang digambarkan oleh Letkol Untung Samsoeri – sebelumnya. Banyak foya foya dan main wanita di atas kesulitan anak buah yang bergaji kecil.
Mayor Jenderal Ibnu Sutowo diserahi Pertamina, Brigadir Jenderal Achmad Tirtosudiro mengepalai Bulog, berkuasa penuh atas perdagangan bahan mentah, Brigadir Jenderal Suhardiman menguasai perusahaan dagang raksasa, PT Berdikari. Soeharto sendiri bersekutu dengan para taipan bersama kerabatnya, Soedwikatmono dan Probosutedjo.
Tentu ada banyak nama jendral lain yang terlalu panjang untuk disebutkan. Ada buku khusus tentang itu. Misalnya, Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa karya George Junus Aditjondro yang diterbitkan LKiS (2006).
Pada dekade tahun 1999 beredar buku yangyang kemudian dilarang, berjudul Militer dan Politik di Indonesia karya Harold Crouch, ilmuwan politik Australia, terbitan ‘Sinar Harapan’ yang membuka borok angkatan darat.
Dampak keterlibatan militer dalam bisnis terhadap profesionalisme militer Indonesia yaitu menurunnya profesionalisme militer. Mereka lebih sibuk mengurus bisnis, mendirikan berbagai koperasi dan yayasan. Menjual konsesi dan membackingi para taipan.
Saya tidak tahu kehidupan para jendral Angkatan Darat di masa Bung Karno. Karena minim cerita tentang itu, dan masa itu saya masih kanak kanak. Namun di masa Orde Baru, saya cukup tahu jendral jendral yang menumpuk kekayaan di atas kehidupan anak buah yang pas pasan.
Selanjutnya, dari Jendral Angkatan Darat ke Jendral Polri