Lha Kowe Ki Sopo Jawaban Pintar Menyikapi Netizen Pintar Berkomentar

Pendidikan Anak

Oleh : IVY SUDJANA

Seorang teman, sebut saja Ferdi, lelaki usia 30-an menceritakan pengalamannya menyikapi isu childless dan child free yang sedang ramai dibicarakan di media sosial akhir-akhir ini. Kejadiannya beberapa tahun lalu dalam perjalanan pesawat Yogyakarta – Denpasar. Kebetulan ia dan kedua orang, diceritakan duduk dalam lajur kursi yang sama. Ferdi dekat jendela, seorang anak usia kurang lebih 4 tahunan dan Ibunya.

Ibu itu tampak lebih asyik dengan earphone dan ponselnya, dugaan Ferdi sedang sibuk mendengarkan musik, daripada memperhatikan anaknya di kursi tengah, yang mulai dilanda kebosanan. Lama kelamaan rupanya kebosanan anak itu menjadi-jadi dan Ibunya mengusulkan jalan keluar yang menurut Ferdi sangat tidak mendidik. Tanpa melepas earphone dan ponselnya, Ibu tersebut serta-merta meminta Ferdi pindah bertukar tempat duduk dengan mereka, di mana si anak diusulkan akan menempati dekat jendela untuk mengurangi kebosanan.

Saat itu Ferdi menolak. Karena ia merasa, Ibu itu tak berusaha untuk mendampingi dan memfasilitasi anaknya agar aman di perjalanan, melainkan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Kata Ferdi, coba Ibu itu berupaya memfasilitasi anaknya dengan berbagai hal tetapi tak berhasil, mungkin dia jadi ikhlas bertukar tempat duduk.

Mengabaikan anak, menjadi masalah tersendiri dalam menunjukkan sikap sebagai orang tua di muka umum

Abai dan Tidak Peduli

Kisah Ferdi hanyalah satu dari sekian banyak hal dalam keseharian, bagaimana orang tua menunjukkan sikapnya sebagai orang tua dalam memperlakukan anaknya di tempat umum. Ada yang menyentuh hati kita ketika mereka dengan piawai mendampingi dan memfasilitasi anak-anak. Tak tampak kerepotan, sebaliknya menunjukkan afeksi dan perhatian yang fokus di tempat bermain. Namun, adakalanya kita menjadi ikut jengkel ketika orang tua anak yang bersangkutan malah abai dan tidak peduli dengan apa yang dilakukan anaknya meski mengganggu kenyamanan orang lain. Dalih yang biasa dipergunakan adalah, ‘namanya anak-anak, tolong dimaklumi.’

Betul, yang berulah masih berusia anak-anak dan kita yang berkomentar hanyalah pengamat saja. Hanya sayangnya, dalih tersebut seolah melegitimasi pembiaran ketidakteraturan bersikap seorang individu di tempat umum.

‘Kamu bisa bicara gitu, soalnya belum ngerasain sih punya anak.’ Pernyataan lanjutan yang muncul kemudian seperti pembelaan diri yang tidak berdasar.

Ketika saya atau Anda menjadi pengamat sikap perilaku anak-anak dan orang tuanya berinteraksi di tempat umum, tak berarti status lajang seperti Ferdi, atau sudah menjadi orang tua dengan pola pengasuhan yang berbeda, melulu harus sepakat.

Serta, tak juga berarti kejadian di pesawat atau transportasi publik, lalu tindakan pembiaran orang tua akan tindakan anak-anak yang seperti tanpa sopan santun di tempat umum, atau wahana permainan berbayar yang boleh membiarkan anak bermain sendiri dijadikan sarana penitipan anak tanpa membuat orang tua merasa bersalah; dianggap sebagai penyebab orang-orang muda memilih jalan childless atau child free.

Ketika saya mengunjungi laman Facebook, komentar orang-orang yang kontra dengan isu ini malah seperti orang ‘pintar’ yang menyematkan tuduhan, berkumpul di postingan orang lain yang lebih berani membuat status.

Seorang pengamat mengatakan, yang menolak punya anak itu, seperti tidak menghargai apa yang dikehendaki Tuhan. Pengamat lain memberi pendapat berbeda. Dia menganggap orang yang tak mau memiliki anak karena dasarnya tak mau direpotkan, seolah-olah nanti jadi kehilangan waktu untuk diri sendiri. Pengamat lain lebih ekstrim lagi. Mereka yang takut bertanggung jawab bila dianugerahi anak adalah orang yang malas dan tak memercayai Tuhan itu ada.

Komentar-komentar itu tak lebih sebuah perundungan, menyinggung personal dan ranah keyakinan orang dalam beragama, yang bisa seketika menutup rapat kemungkinan berdiskusi karena masing-masing akan bersikeras mempertahankan pendapat satu sama lain.

Ketika kita sebagai orang tua merasa terpukul dan marah ketika anak kita mengalami perundungan, ironisnya kita pun melakukan hal yang sama. Menanggapi isu yang tidak kita sepakati dengan melakukan perundungan juga kepada pihak yang dimaksud, di laman media sosial.

Mengapa tidak menjadikan komentar itu lebih produktif ke dalam tulisan? Sampaikan pendapatmu, ungkap argumentasimu, dengan analisalah yang terjadi di sekitarmu.

Dalam tulisan ini selanjutnya, saya lebih mengungkapkan pengalaman sehari-hari dan fakta yang saya lihat dan amati .

Saya pribadi menyenangi bayi dan anak-anak. Proses sampai terjadi kehamilan anak pertama dan kedua sungguh berbeda. Pertama dengan promil, yang kedua saya mendapatkannya secara alami. Memahami terjadinya kehamilan tak sedemikian mudahnya menjadikan saya pribadi menolak tindakan aborsi dan penelantaran anak, yang BUKAN disebabkan oleh medis.

Rentang usia kedua putra saya sepuluh tahun, si sulung autistik dan si bungsu dikategorikan anak regular, meski saya melihatnya sangat cerdas dan berwawasan luas di usianya yang baru delapan tahun. Metode asuh didik keduanya sangat berbeda meski dengan tingkat kedisiplinan yang sama. Saya dan suami yang perlu bersiasat lebih cerdas untuk menyikapi hal ini. Salah satunya, tidak menuntut sekitar untuk selalu memahami kondisi anak kita, berkebutuhan khusus maupun tidak.

Saya pun senang berinteraksi dengan anak-anak teman-teman saya, kadang bila diperlukan saya ikut mengempu dan mengajak bermain ketika orang tuanya sibuk, maupun memberi masukan mengenai anak tersebut kepada orang tuanya, yang notabene sudah dekat hubungannya dengan kami. Bukan karena saya lebih pintar, tapi mungkin saya jauh lebih banyak mengamati anak-anak berdasar pengalaman ketika menjadi guru dulu.

Di sekeliling saya, ada pula teman-teman yang secara berkesadaran memang memilih untuk tak memiliki anak dalam kehidupan kali ini. Keputusan mereka saya apresiasi, karena hal-hal yang melatarinya.

Saya paham betul, keputusan yang mereka ambil sesungguhnya tidak semudah kita menuliskan komentar dan tuduhan dalam bentuk apapun kepada teman-teman ini.

Tanggung Jawab Mendidik

Suami istri sahabat saya, S dan I keduanya dosen dan Doktor di keilmuan masing-masing. Sang istri yang saya kenal sejak kuliah, kini banyak memberikan perhatian kepada calon-calon konselor yang nantinya akan membimbing anak-anak kita di sekolah. Dengan inisiatif sendiri, S mengobservasi dan mencatat perilaku mahasiswanya. Bila ia mendeteksi adanya luka inner child akibat segala jenis pelecehan dan kekerasan di masa kecil atau remaja, S segera memanggil secara pribadi dan menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan konseling secara gratis

. S berpendapat, bila permasalahan mereka tak selesai terlebih dahulu, akan menemui banyak hambatan dalam menangani klien.

S juga memperhatikan secara total bagaimana mahasiswa yang menjadi bimbingannya bisa menyelesaikan perkuliahan serta skripsi maupun thesis dengan dasar keilmuan yang benar. Suami S, Ir juga demikian. Perhatiannya kepada mahasiswanya sangat serius dan bukan hanya sekadar bertanggung jawab formalitas sebagai dosen dan meluluskan anak-anak itu nanti.

Secara usia, keduanya sudah melampaui masa reproduksi ideal. Namun, mereka secara sadar memang memilih untuk tidak memiliki anak, meski sehari-hari ikut mencurahkan perhatian kepada keponakan kesayangan.

Mereka secara sadar memilih untuk menjadikan anak-anak ideologis mereka (mahasiswa-mahasiswa bimbingan) sebagai anak sendiri. Bermisi melakukan regenerasi keilmuan dan ketrampilan pemecahan masalah kepada anak-anak ideologis itu, S dan Ir berbahagia dengan pilihannya.

Belajar Dewasa dari Pengalaman

Pasangan yang lain, Ct dan D berasal dari budaya berbeda. Berdasar pengalaman masa muda yang buruk, D yang berkebangsaan asing pernah memiliki anak luar nikah. Walau tak menikahi ibu dari anaknya, anak D yang kini sudah menginjak dewasa bertumbuh kembang dari kecil dalam keluarga D serta secara hukum menjadi anak D.

Mengingat pengalaman buruk tahu-tahunya memiliki anak, D berkeputusan melakukan vasektomi permanen atas kesadaran sendiri. Ia belum bisa memastikan apakah dirinya tak akan melakukan kesalahan yang sama lagi.

Perilaku seorang ibu dapat mempengaruhi psikilogi seorang anak

Ketika akhirnya D bertemu dengan Ct (sahabat saya), Ct baru saja di-ghosting oleh calon suaminya yang tidak muncul di hari pernikahan. Sehingga ketika relasi percintaan D dan Ct sudah berkembang dan mengarah pada pernikahan, hal yang segera disampaikan D kepada Ct, adalah bahwa ia sudah divasektomi permanen dan menutup kemungkinan untuk memiliki anak buah cinta mereka.

Sebagai perempuan, saya menduga Ct tak mudah menerima kenyataan tak akan memiliki anak dari pernikahannya dengan D. Namun, ketika mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, keputusan itu sungguh luar biasa. Ketika saya tanyakan kepada Ct, ia hanya menjawab anak D yang kini tinggal di salah satu kota Eropa adalah anak dia juga. Yang penting mereka saling mencintai dan bisa berbuat banyak untuk orang lain.

D bukan tipe lelaki yang tidak mencintai anak-anak, karena sehari-hari ia mengajar di sebuah sekolah Internasional. Ct juga menyibukkan diri dengan melatih yoga, mengajar menari termasuk kepada anak-anak.

Risiko Kecacatan yang Belum Mampu Diterima

Pasangan ketiga memiliki latar permasalahan yang berbeda.

Sang istri , Sa pernah menuturkan hal ini kepada saya. “Orang-orang hanya terus menuntut kapan punya anak, atau menuduh seolah saya dan At tak mau punya anak.”

Padahal cerita yang kemudian meluncur dari mulutnya adalah, baik Sa dan At, memiliki keluarga yang berpotensi menghasilkan individu dengan kecacatan syaraf permanen. Apalagi ketika mereka menikah, usia mereka sudah cukup berumur, dan bila Sa hamil, ia memiliki risiko tinggi, entah kehamilan yang memiliki banyak komplikasi, maupun kelahiran bayi dengan cacat syaraf permanen.

“Saya sendiri belum mampu sepertimu, Vy, yang bisa membesarkan anak autistik. Memiliki anak berkebutuhan khusus adalah pertanggungjawaban seumur hidup, dan usia saya dan At tidak muda lagi. Bila kami mendadak tiada, menitipkan anak itu dengan segala kecacatan kepada orang yang tak sepenuhnya bisa menyayangi, kami merasa seperti menelantarkannya.”

Saya berusaha memahami kecemasan Sa dan tidak menyangkutpautkan dengan bagaimana kepasrahannya kepada Tuhan Yang Kuasa yang tak akan memberikan cobaan melebihi umatnya, karena ketaatan Sa dan At kepada apa yang diyakininya malah melebihi saya.

Bila ditanyakan kalau suatu saat mereka dianugerahi anak, mereka akan berusaha sebaik mungkin menyayangi dan membesarkannya. Kini rumah mereka sering dijadikan pelatihan kesenian bagi anak-anak di sekitarnya. At sebagai seniman, tanpa ragu sering memberi pelatihan kepada anak-anak, mewariskan ilmu dan ketrampilannya kepada mereka yang berminat. Sementara Sa, menyiapkan kudapan, dan minuman pada saat anak-anak itu berkegiatan.

Menemukan Nilai Kemanusiaan

Pengalaman hidup berkeluarga ketiga pasangan ini membuka mata saya. Bahwa kebahagiaan itu sangat personal dan kita sendiri yang membuatnya. Bukan ditentukan atau dibuatkan pihak lain. Bila mungkin pada pasangan pada umumnya, pernikahan mereka baru berbahagia bila memiliki anak (-anak), ketiga pasangan teman saya ini menemukan kebahagiaan dengan banyak berbuat, mewariskan ilmu dan banyak mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan bagi anak-anak orang lain.

Soal mulia atau tidaknya pilihan hidup mereka, soal mendapatkan pahala atau tidak, saya pikir hanya Tuhanlah yang bisa menilai.

Sebagai manusia biasa, perempuan dan juga Ibu, minimal saya mengapresiasi apa yang teman-teman saya lakukan dalam kehidupan dan peradaban kali ini; bukan malah berasumsi sendiri, menghakimi atau melakukan perundungan tentang keputusan mereka memilih untuk tidak memiliki anak.

Sebenarnya kita ini siapa, ketika hanya sibuk berkomentar atas hidup orang lain?

Sibukkan diri untuk berbuat lebih banyak dan lebih bermanfaat untuk orang lain, yuk!

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta