Sesampainya di Tanah Air, Mei 1946, Lie langsung mengabdikan diri pada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), yang waktu itu masih bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat) Laut dan bertemu dengan pimpinannya, Laksamana Mas Pardi di markas besarnya di Yogyakarta.
Sebentar. Markas AL di Yogyakarta? Jauh dari pantai?
Begitulah faktanya, AL kita pernah bermarkas di kota yang jauh dari laut! Tak ada pelabuhan di Yogyakarta. Sebagian besar kapal-kapal kita sudah dihancurkan Belanda! Masa yang sungguh kelam dan membuat pilu hati. Markas AL pun mengungsi.
Mas Pardi langsung terkesan dengan pengalaman Lie dalam dunia pelayaran hingga manca negara.
“Kita kurang personil. Kamu mau pangkat apa? Mayor?” tanya Bapak Angkatan Laut Republik Indonesia itu.
Lie langsung menjawab: “Saya kemari tidak mencari pangkat. Saya hanya ingin mengabdi.”
Akhirnya, Lie mendapat pangkat kelasi III dan di tempatkan di Cilacap, sebuah kota pelabuhan di Jawa Tengah bagian selatan.
Lalu, tantangan baru pun muncul. Sebuah kapal dagang besar berbendera Singapura penuh muatan karet sebanyak 800 ton milik negara hendak diselundupkan ke Singapura dan isinya hendak dijual di sana.
Kapten kapalnya takut. Ia tahu, di tengah jalan pasti akan dicegat kapal perang Balanda. Dengan kapal penuh muatan begitu, lajunya jadi lambat, sulit untuk lari menghindar.
Karier penyelundup
Lie mengambil tantangan itu, menggantikan sang kapten. Dan, mulai berlayar keluar Cilacap. Memasuki selat Sunda, semua lampu penerang (navigasi) ia matikan dan melaju lurus menuju Kota Singa. Lie sukses mengantarkan muatan!
Dari sanalah peran “penyelundup bagi Negara’ bermula. Ia biasa membawa barang dagangan milik saudagar besar dari Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan selalu sukses dijual ke Singapura, Malaysia atau Thailand.