Lie, Perjalanan Jenderal Penyelundup “Barang Milik Negara”

Jadi jende8ral

Ketika perang dengan Belanda usai dan banyak pemberontakan terjadi di berbagai daerah, John Lie kembali bertugas di laut. Ia membawa kapal pengangkut milik TNI AL dan melayani mpengangkutan logistik dan pasukan yang bertugas memadamkan pemberontakan RMS yang bermarkas di kota Ambon, Maluku.

Desember 1966 John Lie mengakhiri kariernya di Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda (bintang dua – setara Mayor jenderal pada Angkatan Darat).

Jendral Besar AH. Nasution memberi kesaksian, “jasa John Lie tiada tara besarnya bagi AL, karena ia adalah Panglima Armada AL di saat negara sedang dalam keadaan genting menghadapi pemberontakan di berbagai daerah, seperti pemberontakan RMS di Maluku, PRRI/ Permesta di Sumatera Barat, Makassar dan Sulawesi Utara”

Lie terpaksa mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma karena rezim orde baru yang tidak menyukai nama-nama berbau asing.

KRI John Lie, 358

Menikah terlambat

Totalitasnya dalam mengabdi membuat ia terlambat menikah. Ia menyunting Pdt. Margaretha Dharma Angkuw di usia 45 tahun.

Pasangan Lie dan Margaretha mengisi hari-harinya dengan mengurus dan menyantuni ratusan anak yatim piatu, orang-orang telantar di jalanan, pemulung, tukang becak, dan kaum papa lainnya. Harta dan uang pensiunnya habis untuk membantu mereka. Rumahnya selalu penuh oleh mereka yang minta tolong.

Pasangan ini tidak dikaruniai keturunan hingga Lie wafat pada 27 Agustus 1988 karena stroke dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Pada 10 November 1995, Lie memperoleh Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberinya gelar Pahlawan Nasional pada 9 November 2009.

Nama Lie juga diabadikan menjadi nama kapal perang, KRI (Kapal Republik Indonesia)  John Lie, dengan nomor lambung 358, sebuah kapal perang jenis Korvet, kapal cepat, jenis yang cocok dengan karakter Lie saat dahulu membawa Outlaw.

Perginya orang baik

Ketika Lie wafat, rumahnya dipenuhi banyak tentara yang menjaga peti jenazahnya dengan takzim menunduk dengan penuh hormat. Presiden Soeharto sendiri pun datang melawat.

Kehebohan terjadi. Sekian lama Lie menutup diri dan selalu sibuk merawat mereka yang terpinggirkan. Para pemulung, yatim piatu, tukang becak, gelandangan, dan kaum papa lainnya baru tahu kalau orang yang selama bertahun-tahun merawat mereka dengan harta benda milik pribadi, tanpa gembar-gembor, ternyata bukan orang sembarangan. Ia seorang pahlawan negara.

Isak tangis warga tersisih tak tertahankan saat iring-iringan mobil jenazah berangkat menuju makam, tempat peristirahatan terakhir Lie.

Pada 27 Agustus 2018, tepat di hari kepergianmu, Lie, saya pun mengenangmu, agar perjuanganmu tak sia-sia. Orang yang hebat. Yang rela berkorban apa saja demi tegaknya NKRI.

Ketika kita –saudara sebangsa– berselisih karena SARA, saya sedih karena ingat Lie. Terima kasih atas darma baktimu. (Gunawan Wibisono, dari berbagai sumber)

Avatar photo

About Gunawan Wibisono

Dahulu di majalah Remaja Hai. Salah satu pendiri tab. Monitor, maj. Senang, maj. Angkasa, tab. Bintang Indonesia, tab. Fantasi. Penulis rutin PD2 di Facebook. Tinggal di Bogor.