Cerita Teman
Ketika aku dinyatakan mengidap kanker payudara stadium 2B jenis Her2+, jenis yang tergolong ganas, aku sangat terpukul. Tapi, life goes on. Singkat cerita, maksektomi pun dilaksanakan. Ada rasa lega penyakit itu hilang, tapi di sisi lain aku sedih kehilangan sebelah payudaraku. Setelah luka kering, pengobatan dilanjutkan dengan kemoterapi, yang dijadwalkan sebanyak 6 kali setiap 3 minggu sekali.
Layaknya sebuah bom dijatuhkan di suatu lokasi, dampak kemoterapi pastilah dirasakan di daerah sekitarnya. Mulai dari sakit perut, diare, demam tinggi, sariawan, sampai menurunnya lekosit. Kondisi ini membuat tubuh lunglai tak bertenaga. Efek samping terapi ini tidaklah sama tiap kali menjalaninya, juga tidak sama pada setiap pasien. Pada tubuhku, itu terjadi pada hari ke 5 sampai ke10 setiap kali sehabis kemoterapi. Keluhan sakit perut itu sangat menyiksa. Obat-obatan dari dokter hanya membantu beberapa saat. Pada kondisi itulah aku benar-benar tak berdaya….
Aku tidak bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Rasa letih, lemas, sakit, sedih berbaur menjadi satu. Dalam kesendirian seringkali air mata keluar tanpa bisa ditahan. Radiusku hanya beberapa langkah dari tempat tidur, kamar mandi, ruang makan, teras rumah. Paling jauh ke area car port untuk berjemur lalu balik ke tempat tidur.
Teringat waktu itu. Baru saja satu kali kemoterapi, lekositku drop hingga 500 (normalnya minimal 5000). Aku dinyatakan dalam kondisi kritis dan dirawat di RS untuk mendapatkan suntikan dalam 2 hari yang akan membantu meningkatkan lekosit. Kondisi ini diperparah diare hebat. Dalam sehari sampai 12 kali aku BAB. Obat yang diberikan dokter tak memberikan respon berarti. Sampai malu sekali rasanya karena hampir tiap jam harus menekan tombol untuk minta bantuan suster mengganti pampers.
Bersamaan dengan itu aku juga sulit makan dan minum. Sedikit sekali yang bisa masuk ke dalam tubuh. Walaupun dibantu infus, asupan makanan dan minuman diperlukan untuk membantu proses penggantian sel-sel yang rusak akibat terapi. Aku kehilangan indera pengecap. Lidah rasanya menebal dan makanan tidak ada rasa. Mual sekali ketika ada makanan atau minuman masuk ke dalam mulut. Bahagia rasanya bila ada yang masuk, namun sedih ketika makanan dan minuman itu hanya bertahan beberapa menit dan sesaat kemudian keluar lagi. Tumpah semuanya….
Di saat seperti itu aku hanya bisa pasrah; tiada lelah dan tiada henti aku berdoa pada pemilik alam semesta ini. Dalam setiap helaan nafas, kusebut nama-Nya dalam zikir, terus-menerus menemani rasa sakitku. Seringkali aku tertidur dan terbangun masih dalam sikap tubuh berzikir.
Untuk membantu agar kondisiku tidak semakin drop, dokter menyarankanku mencoba minum, minimal air putih hangat 1.5 liter sampai 2 liter sehari. “Hanya semangat dan kemauan Ibu yang bisa membantu memperbaiki kondisi. Ayo, Ibu harus, harus dan harus bangkit melawan ini semua,” begitu katanya. Saran itu seakan-akan ultimatum bagiku, sekaligus melecut adrenalinku yang saat itu lumpuh.
Dengan menguatkan hati, membayangkan wajah anakku semata wayang, melihat raut muka suami yang selalu setia merawatku, aku bertekad melawan rasa mual, rasa kebas di rongga mulut dan hati yang terpuruk. Aku minta dibantu duduk bersila di atas tempat tidur. Sambil memegang gelas air hangat kubaca Al-fatihah sebelum meminumnya dengan sedotan. Setelah habis, aku bertahan dalam posisi duduk sekitar 10 menit sebelum rebahan lagi. Takjub aku, tidak terasa mual dan air itu tidak keluar. Timbullah rasa percaya diri sehingga ritual itu kuulang-ulang sambil menghitung sudah berapa gelas air yang berhasil kuminum.
Hari ketiga di rumah sakit, diare sudah berkurang. Hari ke 4, sedikit demi sedikit makanan rumah sakit bisa masuk tanpa rasa mual. Lekosit pun mulai merangkak naik. Hari ke 5 menjadi harapanku untuk bisa pulang. Aku berharap hasil lab terbaru menunjukkan lekositku berada di level normal. Namun hingga siang, dokter belum mengunjungiku. Hilanglah sudah harapanku untuk merayakan Idul Fitri di rumah.
Menjelang malam baru dokter membuka pintu kamarku. Aku benar-benar sudah pasrah. Tapi wajahnya kelihatan cerah. Lalu dia berkata dengan senyum yang sangat lepas, “Bu, besok makan ketupat dan rendang ya…. “ Dalam hati aku berkata, “Iyalah, dokter bisa begitu. Aku? Yah, tidak apalah sekali-sekali berlebaran dengan suster di rumah sakit.” Tapi aku bingung melihat mimik dan senyumnya. Lalu kata-katanya terdengar seperti halilintar, “Lekosit Ibu sudah naik. Yuk pulang, Bu….” “Beneran, Dok?” “Lekosit Ibu sudah normal….” Kami pun tertawa bersama.
Memasuki rumahku kembali, semakin aku sadar akan besarnya kasih sayang-Nya kepadaku. Dia menganugerahi aku seorang suami yang sangat telaten mendampingiku, merawat dan menguatkan batinku dalam melalui masa-masa sulit ini. Tidak pernah kulihat mukanya muram atau kesal. Ia selalu ada di saat aku membutuhkannya, selalu penuh senyum dan kasih. Pernah sampai 2-3 hari aku tidak berdaya untuk mandi, dialah yang menyeka tubuhku.
Aku juga selalu didoakan anakku yang sedang menimba ilmu jauh di benua lain. Dia mengikuti perkembanganku melalui video call. Aku didampingi adikku yang menjagaku dari pagi hingga sore bila suamiku perlu mengurus usaha kami. Aku dikunjungi kakak-kakak, keponakan-keponakan dan sahabat-sahabat dan keluarganya, yang dengan penuh kasih mendoakanku dan mendorong kesembuhanku.
Aku dianugerahi para perawat yang telaten merawatku, mengganti pampersku. Tidak ada yang cemberut, tidak ada yang terburu-buru. Bahkan mereka selalu menyemangatiku sambil berseloroh mengobrolkan hal lain. Padahal diare itu “harum” sekali….
Peristiwa lima hari di rumah sakit sangat membekas di dalam hati dan jiwaku, mengubah paradigmaku. Kugantungkan seluruh hidupku pada-Nya. Jika terjadi hal-hal kecil maupun besar yang tak sepenuhnya aku pahami, aku tidak lagi mempertanyakan atau mempersalahkan siapa pun. Aku syukuri saja dan mencari jalan keluar lain. Di saat-saat “buruk” aku tidak lagi bertanya pada diri sendiri: Di mana kekuatanku? Di mana semangatku? Di mana kemandirianku? Di mana keberanianku?
Pengalaman ini juga menjadi persiapan bagiku dalam menjalani kemoterapi berikutnya. Catatan-catatan kecil kubuat sebagai upaya preventif untuk mengurangi efek samping yang mungkin terjadi.
Karena kasih-Nya saat ini aku bukanlah aku yang dulu lagi. (IW)
“Seluruh dunia mungkin tidak mengetahui perjuangan dan hambatanku, tapi Allah melihat semuanya, dan Ia tidak pernah ragu menyelamatkanku. Bagaimana mungkin aku tidak memuji kebesaran nama-Nya?” – Edmond Mbiaka, penulis