Bohonglah kalau aku bilang diriku tidak terpengaruh Covid 19 dan pemberitaannya setiap hari, termasuk di medsos. Malam-malam kalau terbangun, iseng kubuka FB, langsung kututup lagi, karena membaca sederet RIP. Nama para korban ini bisa kerabat temanku yang posting, bisa pula orang-orang yang kukenal atau terkenal. Siapa pun dia, korban adalah somebody buat orang sekitarnya, kehilangan mereka membawa dukacita tak terhingga.
Aku tentunya tidak bisa melewatkan semua itu seolah-olah tidak ada yang terjadi. Maka besoknya aku browsing lagi, dan menulis komen belasungkawa.
Membuka wa group atau japri juga aku cemas, kalau-kalau ada lagi yang meninggal sebagai korban Covid 19.
Bohong juga kalau aku sesumbar bahwa di sekitarku sendiri, di antara kerabat dan sahabat tidak ada yang terpapar, mengalami kesulitan ekonomi atau menderita kecemasan berlebihan. Ada. “Lingkaran” itu semakin mengecil saja dari hari ke hari.
Tapi kok… aku tetap saja menulis konten-konten seperti biasa, seolah-olah semuanya baik-baik saja, “business as usual”? Pertanyaan ini bukan tidak pernah mengusik aku. Ada satu kali, rasanya ingin berhenti menulis, absen dulu supaya kompak dengan kemurungan yang melanda dunia. Tetapi nyatanya aku tetap posting, tetap berbagi.
Hari ini aku mendapat tag dari Henny Supolo. Intinya ia mengatakan prihatin dengan keadaan sekarang ini, ketika semakin lama semakin banyak “selamat jalan” harus diucapkan. Hari ini ia merasa perlu menyapa sahabat-sahabat yang terus menulis dan … memberi harapan.
Status temanku ini, kubaca pagi-pagi, terasa “nyes” di hatiku. Ternyata tidak apa-apa aku posting biasa-biasa saja, semisal kutipan, pengalaman, canda, cerpen. Tidak apa-apa aku tidak ikut terlarut dalam kesusahan di medsos.
Terima kasih, temanku yang baik. Aku ingin bilang, “You are such a sunshine.”