Dia artis komplit dan dedikasi. Karyanya tak sembarangan, film filmnya masuk pengamatan juri juri festival.
TIDAK banyak artis film Indonesia yang memiliki pencapaian seperti Lola Amaria. Dia model, bintang iklan, pemain sinetron, penulis skenario, sutradara dan produser. Dan karya karyanya tak sembarangan. Dia masuk kelompok artis idelais yang karyanya bukan untuk mencari banyak penonton. Mendekati karya personal, mengutamakan artistik.
Karya terakhirnya adalah film biopik berjudul 6,9 DETIK yang tayang September mendatang 2019 – menceritakan kehidupan atlet nasional panjat tebing, Aries Susanti. Aries mendapat julukan Spider Woman Indonesia setelah sukses mengalahkan Elena Timofeeva dalam kejuaraan panjat tebing tingkat dunia, IFSC World Cup 2018 di Chongqing, China dengan catatan waktu 7,51 detik dan juga sukses di ajang perhelatan terbesar Asia, yaitu Asian Games 2018.
Sebelumnya dia membuat film LIMA – sebagai gambaran Pancasila dalam kehidupan nyata sehari hari. Sebagai sutradara dia dibicarakan pengamat sejak membuat film Minggu Pagi di Victoria Park, yang mengangkat kehidupan para TKW di Hong Kong.
Lola Amaria nampaknya sutradara realisme sosialis, yang tidak menampilkan kisah mengawang awang. Melainkan mengambil dari kisah kisah nyata di sekitar kita.
Lola mulai dikenal saat dia terpilih sebagai Wajah Femina 1997 – kemudian menjadi bintang iklan berbagai produk, dan bermain di sinetron Penari garapan sutradara Nan Triveni Achnas. Dalam sinetron tersebut Lola berperan sebagai Sila, seorang penari erotis. Sinetron tersebut membuka kesempatan pada Lola untuk membintangi sinetron berikutnya, antara lain Arjuna Mencari Cinta, Tali Kasih, dan Merah Hitam Cinta.
Tak hanya layar kaca, Lola pun mencoba dunia layar lebar. Debut layar lebarnya berjudul Tabir (2000), kemudian menyusul film berlatar zaman penjajahan Jepang, “Dokuritsu (2000), Beth (2001), dan Ca Bau Kan (2002) yang dibintanginya bersama Ferry Salim.
ARTIS berdarah Palembang-Sunda kelahiran 30 Juli 1977 ini mencoba hal baru ini juga mencicipi menjadi produser untuk film Novel Tanpa Huruf R (2004) yang sekaligus dibintanginya dan juga menyutradarai film Betina (rilis 2006).
Film Betina berhasil meraih penghargaan ‘Netpac Award’ dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2006. Betina juga menjadi salah satu film produksi Indonesia yang ditayangkan di luar Indonesia, yaitu di Festival Film Internasional Singapura Ke-20. Selain “Betina”, film-film Indonesia yang diputar pada SIFF dalam Forum Asian Cinema adalah Opera Jawa, 3 Hari untuk Selamanya” karya Riri Riza dan film Koper karya Richard Oh.
Awal tahun 2007, Lola bahkan pergi ke Taiwan untuk menyelesaikan syuting film produksi negeri tersebut, Detour to Paradise. Dalam film garapan sutradara Lee Ti-Tsai alias Andy Lee itu, Lola menjadi salah seorang bintang utama. Dia berperan sebagai tenaga kerja wanita dengan profesi pembantu rumah tangga (PRT).
Lola menjalin kasih dengan sutradara Aria Kusumadewa. Aria juga membantu penggarapan film Betina sebagai pengarah gambar dan membantu proses editing. Meski sejak tahun 2004 keduanya digosipkan akan menikah hingga kini keduanya tak ada tanda-tanda akan melangkah ke pelaminan.
Bagaimana pun dari Aria Kusumadewa itu tuah penyutradaraannya didapat. Juga kemampuannya menjadi penulis naskah dan produser film yang piawai, sampai kini.
Hari ini, 30 Juli 2021 dia berulang tahun. Selamat buat Lola Amaria. Terus berkarya dan kreatif. ***