Pada tahun ’85an aku pernah menonton film berjudul “Emerald Forest”, diperankan oleh Charley Boorman.
Ini adalah film dengan semangat pelestarian alam, hutan dan lingkungan.
Seorang anak ‘bule’ yang kehilangan orangtua dipelihara oleh penduduk di sekitar Amazon. Setelah remaja, dia menentang orang-orang yang akan menghancurkan hutan dengan alasan kebutuhan mendesak, perkebunan, modernisasi-tentu saja-juga ketamakan dan kekuasaan.
Sekitar 30 tahun kemudian, aku kembali menonton Charley Boorman dalam film dokumenter dahsyat di TLC (Travel and Living Channel) bertualang nengelilingi dunia mengendarai sepeda motor besar bersama aktor lain, Ewan McGregor.
Jika menyinggung motor besar, harap dunsanak jangan membandingkan perilaku mengendarai motor besarnya dengan bapak-bapak paruh baya dengan motor besar itu. Berkeliling kota beramai-ramai dan dikawal oleh polisi yang (notabene kita juga ikut menggaji dengan uang pajak kita, bukan cuma mereka).
Belakangan aku baru tahu kenapa mereka selalu dikawal oleh polisi, karena katanya tak ada SIM untuk sepedamotor besar itu. Hlo, ngapain dibeli, dengan harga mahal pula?. Yaa,…karena punya duit dong aah.
Kembali ke Charley Boorman. Dalam setiap petualangannya, Charley dan Ewan selalu mencoba berinteraksi dengan penduduk setempat. Mereka selalu berusaha ‘menyatu’ dengan orang-orang sederhana yang mereka jumpai di seluruh pelosok dunia.
Ketika ditanya wartawan, apa yang pertama dan utama yang paling mudah diingat dan langsung terlintas di benak mereka tentang orang-orang yang mereka jumpai dalam setiap penjelajahan?
“Pada dasarnya mereka semua adalah orang-orang baik, ramah dan sederhana. Mereka tak ingin menjaga jarak terhadap manusia lain. Jika ada batas secara formal, itu karena manusia ‘ditakdirkan’, haha…harus memiliki negara, adat, hukum formal, sosial dan seterusnya. Tapi pada dasarnya semua orang yang saya jumpai adalah manusia-manusia ‘kebanyakan’ yang baik. Sekat-sekat itu dibuat oleh politisi..”
Jawaban Charley Boorman mengingatkan aku kepada Parakitri Simbolon. Parakitri membuat buku dahsyat “Menjadi Indonesia”.
Buku yang konon sangat layak menjadi panduan di sekolah-sekolah atau di mana saja kepada siapa saja yang ingin mengetahui sejarah menjadi Indonesia dengan jernih
Dia pun berpandangan: “pada dasarnya, rakyat Indonesia itu adalah ‘salah-satu jenis’ warga negara paling baik hati, tangguh dan sabar. Sehingga selalu luwes (fleksibel) dan oleh karena itu akan survive dalam keadaan seburuk apa pun. Itu sudah terbukti sejak zaman purba, zaman kerajaan, zaman penjajahan, zaman pergerakan, kemerdekaan dan zaman modern sampai hari ini…
Jadi, jika sekarang ada politisi yang sedang blingsatan memprovokasi supaya keadaan menjadi kacau, lalu mengambil keuntungan dari kekacauan itu,…hehe itu sudah gak zaman dan pasti gak mempan cooy.
Kalo kata anak milenial: kwaciaaan deh lo…
(Aries Tanjung)