REFLEKSI oleh Belinda Gunawan
Ketika menyaksikan adegan penutup film “Eat, Pray, Love” di mana Liz (diperankan Julia Roberts) berlari kembali ke pelukan Felipe di pantai Bali, aku mendesah puas. Aku suka ending bahagia.
Tak lama kemudian aku mendapat buku berjudul “Committed”, yang merupakan sambungan dari kisah di atas.
Ceritanya, karena tidak bisa selamanya menetap di Bali, bolak-baliklah mereka ke AS, kediaman Liz. Suatu kali Felipe tidak diperkenankan masuk negeri ini. Alasannya, sudah terlalu sering dalam setahun, melebihi apa yang diperkenankan imigrasi. Setelah wawancara dan perdebatan sangat lama, petugas imigrasi menyarankan agar mereka menikah saja. Sebagai suami-istri yang sah, halangan seperti itu akan sirna dengan sendirinya. Dalam tempo beberapa detik sebelum Felipe ditahan, kedua kekasih itu melontarkan kalimat yang sama, “Aku begitu mencintaimu sehingga aku rela menikah denganmu!”
Ha-ha. Kalau aku membacanya ketika usiaku masih lebih muda, aku akan terkaget-kaget. Bagiku pernikahan adalah tindak lanjut alami dari pacaran. Tetapi karena aku membaca buku ini dalam usia yang sudah matang, aku bisa memahami sudut pandang penulis. Mereka menikmati cinta tanpa komplikasi pernikahan, jadi mengapa harus menikah?
Sejak peristiwa di bandara itu Liz melakukan banyak survei tentang pernikahan, membaca sederet buku, mewawancarai suami istri dari berbagai tempat dan lapisan masyarakat. Akhirnya ia memutuskan, dan memutuskan, menikah tidak apa-apa. Happy ending lagi!
Aku mereguk buku ini dengan puas, bahkan pengantarnya pun tidak kulewatkan. Di situ ia menyelipkan beberapa kutipan, antara lain kata bijak Polandia: “Sebelum berperang, ucapkan satu doa. Sebelum berlayar, ucapkan dua doa. Sebelum menikah, ucapkan tiga doa.”
Liz dan Felipe bertindak hati-hati, dan memang seharusnya begitu. Pernikahan bukan masalah sepele. Dua orang dari dua latar belakang, dari hari ke hari bersama-sama dalam satu rumah. Istilahnya, “Lu lagi, lu lagi.” Kesalah pahaman mudah terpicu dan berkembang jadi pertengkaran.
Aku sendiri menikah dalam usia di penghujung “kepala 2”, masih romantis dan penuh harapan. Kukira suamiku dan aku akan saling mengisi dengan sempurna. Tapi kenyataannya? Sekalipun secara umum kami aman, ada waktu-waktu aku tidak paham lelaki di sisiku itu, dan heran mengapa kami bisa begitu berbeda. Apakah karena ia datang dari Mars dan aku dari Venus, atau bagaimana? Pertengkaran kami memang tidak terlalu dramatis, seringkali bersifat ecel dan segera terlupakan. Tapi pengennya tentu tidak begitu.
Suatu kali entah kenapa aku menyempatkan diri berkontemplasi tentang pernikahan. Aku bertanya pada diri sendiri mengapa sebagai pasangan “berpengalaman”, kami masih bertengkar. Apa yang dapat kulakukan agar hari-hari kami lebih mulus?
Dari permenungan itu aku mendapat beberapa hal yang bisa menjadi self reminder:
• Aku perlu mengetahui apa yang penting bagi pasangan, yang bagiku tidak penting. Misalnya, ia suka mencoba mereparasi sesuatu, padahal dirinya tidak terampil. Aku terpaksa membiarkan bahkan membantunya, padahal aku lebih suka memanggil tukang.
• Bila ia bertindak “aneh”, aku yakinkan diriku bahwa ia hanya menjadi dirinya sendiri. Bagaimanapun, ia kan anak “orang lain” yang membesarkannya dengan gaya khas mereka.
• Sebelum nyerocos aku coba mendengarkannya dan tidak menganggap sikapnya yang menjengkelkanku itu sengaja ditujukan kepadaku.
• Aku mengurangi sikapku yang keukeuh. Mungkin saja kali ini, dalam hal ini, ia yang benar.
• Aku tahu, bersikap sabar ada gunanya. Ia kan manusia biasa yang sesekali terpengaruh mood jelek, seperti aku juga.
• Pelan-pelan aku tularkan semua penemuan ini padanya.