Kok gitu.
Ada apa sih?
Ga ada hujan ga ada angin, ngomongnya ngeracau.
Coba tarik nafas. Tenangkan hati & berpikir jernih.
Tidak seharusnya ngomong ngaco, begitu. Sudah berapa lama kita menikah?
20 tahun? O, lebih ya?!
23 tahun. Bahkan kita berteman sejak kecil. Kita tinggal se-erte! “Pek-nggo,” istilahnya. Ngepek tonggo. Ngawinin tetangga. Berarti lebih dari 50 tahun kita saling mengenal.
Kenapa ngomong seperti itu? Apa gegara tidak dikaruniai anak? Bukankah sudah sering dibicarakan, kita tak ingin disibuki dengan anak. Kita lebih asyik traveling.
Kita sepakat tidak adobsi anak. Kita tidak nyinggung masalah anak lagi. Untuk berani menerima apa adanya tanpa nyinggung siapa di antara kita yang kurang subur.
Kita lalu putuskan & sepakati bersama untuk bahagiakan orang di sekitaran kita, berarti bahagia kita juga.
Kenapa ngomong begitu?
Padahal kita berkomitmen bersama untuk setia dalam suka & duka. Hanya maut yang bisa pisahkan kita.
Apa gegara kesepian karena tak ada momongan? Kita semakin menua & menuju kekisutan? Di masa tua tak ada anak yang ganti ngurusin kita? Bukankah pernah kita rencanakan untuk tinggal di panti werda agar kita tak kesepian?
Atau ada orang ketiga di antara kita?
Jangan bilang karena tidak cocok atau tidak berjodoh.
Sekali lagi jangan cari alasan yang tak ada guna. Mengada-ada.
Tak mungkin tanpa kecocokan kita melayari bahtera perkawinan hingga puluhan tahun.
Ketidak-cocokan itu muncul karena keegoisan. Tak ada yang mau mengalah, tepatnya kita belum sungguh fahami sifat pasangan sendiri.
Tak ada pasangan yang sempurna, karena tiap orang mempunyai kelebihan & kekurangan.
Alangkah bijak & bahagia jika kita mau belajar untuk menutupi kekurangan pasangan dengan mengingat-tambahkan kelebihan & kebaikannya. Sekaligus untuk mengurangi kejelekan & kekurangannya.
Dengan terus belajar saling percaya, fahami, & saling mengasihi, di mana ketidakcocokan kita?
Kita tercipta karena dipertemukan Tuhan. Kita berjodoh.