Ma, I-in kepingin sekali main ayunan di taman. Boleh ya? Sekali ini saja.”
“Jangan, In. Bahaya.”
I-in tidak menunggu penjelasan Mama, ia langsung berlari ke kamarnya. Ia mengeluarkan kertas dan krayonnya, lalu mencoret-coret. Setelah reda kekesalannya, ia berbaring dan tertidur.
Ia tidak tahu Mama masuk ke kamarnya dan melihat gambarnya: seorang wanita berwajah kejam dan bertanduk. Di bawahnya ada tulisan: Mama.
Ketika terbangun, I-in mencari gambarnya ke mana-mana. “Celaka!” pikir I-in. Makin kecut hatinya melihat Mama duduk di meja makan dengan gambar itu di hadapannya.
Ia menunduk, tidak berani menatap Mama. Tapi Mama menyapanya, “In, ke sini.”
I-in mendekat dan Mama bertanya, “Mama jahat seperti setan, ya?”
I-in ingin membantah, “Tidak, tidak, Mama baik.” Tapi Mama keburu berkata lagi, “I-in ingin main di taman. Main ayunan, panjat-panjatan. Dulu Mama tidak melarang. Tapi sekarang bahaya, In. Kamu kan tahu ada virus Corona. Anak-anak pun bisa tertular.”
I-in masih terdiam. Dalam hatinya ia protes, “Aku akan pakai masker.”
“Kemarin Mama ke ATM dan melewati taman itu. Di situ ada beberapa orang berkumpul, main kartu. Ada juga yang duduk mengobrol di semen yang mengalasi ayunan, ada yang rebahan di rumput dekat panjat-panjatan. Mereka semua tidak pakai masker, In.”
I-in tiba-tiba merasa ikut ngeri. Ia membayangkan virus Corona, merah mirip rambutan, beterbangan dari hidung ke hidung semua orang yang berada di taman itu.
“Ma….”
“Jadi mengertikah I-in, Mama melarangmu bermain di sana justru untuk melindungimu, karena sayang padamu?”
I-in mendekati Mama dan menyusup ke dalam pelukannya. “Mengerti, Ma, maafkan aku.”
Dalam hati I-in bermaksud akan segera menggambar Mama lagi, kali ini sebagai malaikat.
24 Maret 2021