Oleh : RATIH POERADISASTRA
Saya datang ke Pearl Harbor National Memorial di Hawaii pada akhir Desember 1992. Di sana diputar film dokumenter tentang Perang Pasifik. Dalam perang ini terkenal nama Jenderal yang dihargai lawan dan kawan. Ia menjadi Jenderal Angkatan Darat AS yang sangat berperan dalam Perang Dunia II (1939 – 1945) di medan pertempuran Asia Pasifik.
Sebelum Perang Dunia II, pada 1937, ia diminta untuk menjadi penasehat militer oleh presiden pertama Republik Filipina Manuel Quezon. Pangkatnya Field Marshall (perwira dengan pangkat tertinggi). Pada waktu itu Republik Filipina baru didirikan dan MacArthur baru pensiun sebagai Kepala Staf Angkatan Darat AS pada usia 57 tahun. Ia lahir pada 1880.
Pada usia 61 ia dipanggil kembali oleh negaranya untuk menjalani dinas militer aktif. Ia diangkat sebagai Panglima Pasukan Angkatan Darat AS untuk Timur Jauh, organisasi militer yang baru saja dibentuk. Itu terjadi pada 1941 ketika mulai terlihat bayang-bayang ancaman Perang Pasifik melawan Jepang.
Pada Desember 1941 Jepang mulai melancarkan Perang Pasifik dalam Perang Dunia II. Bala-tentara Jepang menduduki Filipina, bahkan seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada awal Perang Pasifik 1942 serangan Jepang luar biasa dengan kekuatan besar dan tiba-tiba. Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan MacArthur untuk segera mundur ke Australia.
Patuh pada perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi, MacArthur berangkat ke Australia. Ia berhasil menembus blokade tentara Jepang dan lolos dari Filipina ke Australia. “I Shall Return!” Itu sumpahnya. Dengan tekad kuat, ia menepati sumpahnya. Ia berhasil kembali dan merebut Filipina pada 1944. Beberapa hari setelah pendaratannya di Filipina, ia diangkat menjadi Jenderal bintang lima.
Jepang menyerah kalah kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom. Di atas kapal perang Amerika ‘Missouri’ yang berlabuh di Teluk Tokyo secara resmi Jepang mengakui kekalahannya kepada Sekutu. Jenderal MacArthur yang menerima secara resmi pengakuan kekalahan dari Jepang.
Pada usia 65 tahun MacArthur memulai karir barunya sebagai Panglima Tentara Pendudukan Sekutu di Jepang. Ia diangkat sebagai Supreme Commander. Meski menang perang MacArthur tetap rendah hati. Ia tak merendahkan martabat Jepang yang pernah menjadi musuhnya. Ia membimbing rakyat Jepang untuk bangkit dari kekalahan perang menjadi negara yang cepat meraih kemakmuran. Rakyat Jepang sangat menghomatinya, terutama karena ia melindungi dan mempertahankan Kaisar Jepang yang menjadi simbol dan pujaan rakyat Jepang.
Pada usia 70 tahun sewaktu masih bertugas di Jepang, ia dilibatkan dalam perang Korea. MacArthur diangkat sebagai Panglima gabungan tentara internasional di Korea. Pada waktu itu presiden AS adalah Harry S. Truman. Ketika berlangsung perang Korea, MacArthur berbeda pendapat dengan Presiden Truman mengenai strategi perang Korea. Ia dibebastugaskan oleh Presiden Truman dan kembali ke tanah airnya pada 1951.
Ucapannya yang terkenal di kalangan militer “old soldiers never die, they just fade away” ia sampaikan pada pidato perpisahannya di depan Konggres AS, 19 April 1951. Pidato itu mendapatkan beberapa kali standing ovation dari anggota Konggres. Usianya 71 tahun ketika itu. Ia dianggap pahlawan oleh rakyat Amerika dan mendapat sambutan luar biasa di seluruh penjuru.
Pada usianya mendekati 60 tahun istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang menjadi anak tunggal pasangan itu. Pada bulan Juni 1942 Jenderal Douglas MacArthur dinobatkan sebagai National Father of the Year. Pernyataannya ketika itu sangat mengesankan, “Secara profesi aku seorang tentara dan bangga dengan kenyataan itu, tetapi aku lebih bangga, jauh lebih bangga, menjadi seorang ayah. Seorang prajurit menghancurkan untuk membangun, Ayah hanya membangun, tidak pernah menghancurkan. Yang satu memiliki potensi kematian, yang lain mewujudkan penciptaan dan kehidupan. Segerombolan kematian kuat, batalion kehidupan masih lebih perkasa. Kuberharap setelah aku tiada anakku akan mengingatku, bukan dari pertempuran, melainkan di rumah, bersamanya mengulang doa sederhana kami setiap hari, Bapa Kami .”
Ia menulis puisi berupa doa untuk anaknya, Arthur MacArthur, yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Bentuklah putraku, Oh Tuhan
Menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui
ketika ia lemah
Dan berani menghadapi dirinya sendiri
ketika ia takut
Manusia yang kuat dan tabah
dalam kekalahan yang bermartabat
serta rendah hati dan santun dalam kemenangan
Bentuklah putraku menjadi manusia yang bertekad kuat mewujudkan cita-citanya
Seorang putra yang sadar bahwa
mengenal-Mu dan dirinya sendiri adalah
landasan segala ilmu pengetahuan.
Bimbinglah ia, kumohon
bukan di jalan yang mudah dan nyaman
melainkan di jalan yang penuh tekanan dan dorongan
kesulitan dan tantangan
agar ia belajar untuk tetap berdiri di tengah badai
dan welas asih pada yang terjatuh
Jadikanlah putraku
memiliki hati yang tulus
bercita-cita tinggi
putra yang dapat memimpin dirinya sendiri
sebelum ia ingin memimpin orang lain
menjadi manusia yang menatap masa depan
juga tak melupakan masa lalu
Dan setelah semua itu menjadi miliknya
kumohon berilah ia cukup rasa humor
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya
Tuhanku
Berilah ia kerendahan hati
sehingga ia akan mengingat
kesederhanaan dari kemuliaan sejati
keterbukaan pikiran dari kearifan sejati
dan kelembutan dari kekuatan sejati
sehingga, hamba, ayahnya, berani berkata:
“Hidupku tidaklah sia-sia”
Puisi aslinya dalam bahasa Inggris:
Build me a son, O Lord,
who will be strong enough to know,
when he is weak,
and brave enough to face himself
when he is affraid.
one who will be proud and unbending
in honest defeat
and humble and gentle in victory
Build me a son, whose wishes will not take the place of deeds
a son who will know Thee
and that to know himself,
is the foundation of knowledge
Lead him, I pray,
not in the path of ease and comfort
but under the stress and spur
of difficulties and challenge
Here let him learn to stand up in the storm
here let him learn compassion
for those who fall.
Build me a son
whose heart will be clear
whose goal will be high
a son who will master himself
before he seeks to master other men
one who will reach into the future
yet never forget the past
And after all these things are his
add, I pray, enough a sense of humor
so that he may always be serious,
yet never take himself too seriously
Give him humility
so that he may always remember
the simplicity of true greatness
the open mind of true wisdom
and the meekness of true strength
Then, I, his father, will dare to whisper:
“I have not lived in vain.”