ERIZELI JELY BANDARO
Tahun 2015 Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian menyampaikan sikap Presiden Jokowi “ “Apapun juga pembangunan kereta api ini tidak boleh membebani APBN, langsung atau tidak langsung. Artinya langsung atau tidak langsung itu, baik (ada) anggaran di APBN maupun penyertaan modal untuk itu (kereta cepat), itu yang tidak langsungnya. Tentu juga penjaminan (itu tidak bisa). Itu prinsip utamanya.” Atas dasar itulah Perpres 2015 dikeuarkan berkaitan dengan Proyek Kereta Cepat ( KA Cepat).
Atas dasar itulah TOR ( Term Of Reference ) tender KA Cepat dibuat dengan prinsip non budgeter. Skema pembiayaan adalah B2B berdasarkan aturan PPP ( Publik private partnership). Artinya negara memberikan hak konsesi mengelola proyek tersebut sampai kurun waktu tertentu. Dalam hal ini adalah 50 tahun. Setelah habis masa konsesi, proyek harus diserahkan kepada negara dalam keadaan clean. Negara yang mengajukan tender adalah Jepang, China, Perancis, Jerman, dan Korea.
Namun yang mengajukan proposal adalah Jepang, dan China. Jepang menawarkan pinjaman dengan masa waktu 40 tahun berbunga hanya 0,1% per tahun dengan masa tenggang 10 tahun, padahal sebelumnya bunga yang ditawarkan Jepang sampai 0,5% per tahun. Sementara itu, proposal China menawarkan pinjaman dengan bunga lebih tinggi namun jangka waktu lebih panjang. China menawarkan proposal terbaiknya dan menawarkan pinjaman sebesar US$ 5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun.
Konsep B2B
Dari kronologi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa proyek KA Cepat itu, secara bisnis kalau mengandalkan tarif ticket dan jumlah penumpang, jelas tidak layak. Baik China maupun Jepang minta jaminan dari negara. Makanya tender itu tidak ada yang menang. Tetapi kemudian, China mengajukan konsep B2B kepada pemerintah. Tentu langsung disetujui oleh pemerintah. China sebagai pemenang tender. Karena sesuai dengan amanah Perpers 2015.
Mengapa China berani mengajukan skema B2B? padahal secara bisnis proyek itu tidak menguntungkan? Karena China tidak melihat bisnis kereta cepat sebagai sumber pengembalian investasi, tetapi menerapkan bisnis model dengan menjadikan Kereta cepat sebagai value membangun TOD ( Transit Oriented Development). Artinya value proyek itu dari peningkatan harga tanah dan property yang ada di TOD seperti Halim, Krawang, Walini, Gedebage.
Itu sebabnya, keberadaan konsorsium BUMN seperti PTPN dilibatkan untuk setor modal dalam bentuk tanah di Walini. Pemerintah juga memberikan fasilitas tanah di Halim sebagai TOD. Melibatkan Jasa marga untuk setor tanah di jalur kereta cepat. Menunjuk Wika agar tenaga kerja lokal dilibatkan dalam kontruksi proyek, termasuk melibatkan PT. KAI sebagai mitra operator Kereta cepat.
Dari Walini ke Padalarang
Tetapi apa yang terjadi setelah itu? Setelah Pemprov Jabar melakukan upaya percepatan proses penerbitan penatapan lokasi (penlok), ternyata muncul masalah yaitu persoalan terkait tata ruang khususnya TOD Walini. PT KCIC ingin kawasan tersebut berubah zona menjadi B2, sementara saat ini kawasan telah ditetapkan sebagai kawasan budidaya pertanian atau pembangunan yang tidak massif atau B4. Karena situasi tidak jelas dan berlarut larut, muncul lagi wacana untuk geser TOD dari Walini ke Padalarang. Padahal jalur kereta sudah dibangun. TOD Gedebage juga digeser ke Tegal luar.
Ini bikin stress konsorsium China. Karena bisnis model bertumpu kepada TOD terancam gagal karena masalah perizinan tanah dan status tanah. Sementara proyek kereta cepat terus dikerjakan dengan dana dari hutang bank ( CDB) dan setoran modal konsorsium ( yang juga tidak settle). Karena ada anggota konsorisum BUMN gagal setor modal). Ya kalau bisnis model TOD tidak diterapkan, mau engga mau, negara ( APBN) harus bailout proyek kereta cepat ini. Sudah pasti merugi.
Naik 10 Kali Lipat
Lantas bagaimana dengan lahan TOD tersebut ? Tetap akan dibangun secara terpisah oleh investor lain. Mereka adalah developer yang mengharapkan rente dari kawasan yang dilewati kereta cepat. Kapan mereka bangun? Ya setelah proyek kereta cepat selesai. Saat itu harga tanah udah naik 10 kali lipat. Mereka bisa jualan gambar daptkan DP 30% untuk bangun perumahan dan lain lain. Dari DP saja mereka udah untung di tanah.
Artinya, proyek rugi ( Kereta cepat ) dijebak agar ditanggung APBN. Sementara TOD yang menguntungkan dinikmati oleh swasta pemain bisnis rente. Itulah hebatnya mafia tanah. Mereka bisa kendalikan Pemda, DPRD, Pemrof, BPN, Menteri Lingkungan hidup, agar TOD itu gagal menjadi bisnis model kereta cepat.
Siapa mereka ? Cari tahu sendiri di google. Search aja partai yang menang Pilkada Jawa Barat, siapa ketua BPN. Siapa menteri lingkungan Hidup. Siapa developer besar yang kuasai lahan di Jawa Barat. Semoga team Kereta Cepat yang diketuai Pak Luhut Binsar Panjaitan ( LBP) bisa menghindari jebakan “batman” ini. Kembalikan ke bisnis model awal. Yaitu B2B murni.