MAFIA TANAH

Almarhum Prof. Bambang Pranowo pernah cerita padaku. Sebelum studi di Australia, ia beli tanah di Kalibata, 150 meter persegi. Niatnya, nabung di Australi, pulang bisa bangun rumah. Eh tahunya, ketika pulang  6 tahun kemudian, sudah ada rumah berdiri di atas tanah itu. 

Pak Bambang heran. Ia tanya ke pemilik rumah, bukankah tanah itu miliknya? Ternyata penghuni rumah pun punya sertifikat yang sama. Sah. Pemilik rumah ngotot bahwa tanah itu miliknya. Siap ke pengadilan. Dari pada ribut, Prof. Bambang membiarkannya. Ya, sudahlah. Di pengadilan juga belum tentu menang, katanya. Biaya pengacara mahal. Apalagi nanti buang2 waktu. 

Heboh Dino Pati Jalal tentang mafia tanah, kini ramai. Ada pejabat  yang kaget beneran. Ada yg pura pura kaget. Soalnya mafia tanah ini umurnya sudah setua penjajahan Belanda. 

Dulu mafia tanah dibacking pemerintah kolonial. Zaman Bung Karno, PKI bersiap jadi mafia tanah. Tapi gagal karena kalah. Tapi ABRI? Coba telusuri, berapa banyak rakyat yang tanahnya “berurusan” dengan ABRI. Zaman orde baru jika ABRI ingin bangun perumahan atau tempat latihan tempur, ambil tanah rakyat. Rakyat menjerit. Pasti kalah, kecuali anak-anak cendana yang menggugatnya.

Infrastruktur mafia tanah di Indonesia sudah terbangun. Kuat sekali. Hampir semua elemen terlibat, baik di “dalam” pemerintahan maupun di luar. Termasuk di antaranya, preman, maling, garong, pialang, pedagang, macam2. 

Sertifikat? Ahli pembuat sertifikat aspal di Kramat dan Senen banyak sekali. Mau bikin sertifikat yang usianya 50 tahun, 100 tahun yang kertasnya uda kuning dan retak-retak? Semua ada tehniknya. Gampang. Mau merekayasa putusan pengadilan? Gampang. BPN? Lebih gampang lagi. 

Jangankan orang berkerah putih dan politisi, tukang rongsokan besi juga mampu menyerobot tanah. Ia bangun rumah besar berpagar kuat di tanah orang. Ketika pemilik tanah mengadu, dengan enaknya dia bilang. Aku tahu sertifikatnya di tempat kamu. Tapi rumah ini milikku. Kau peganglah sertifikatnya. Aku pegang rumahku. Titik. Pemilik tanah yang lugu, ditantang  ke pengadilan. Tak berani. Ia bisa kalah. Kalau kalah, habislah itu tanah. Gerombolan preman dan pokrol pendukung juragan rongsok besi berada di belakangnya. 

Kali ini yang ngadu Bung Dino, mantan Wamen. Pasti ribut. Para kurcaci mafianya uda diborgol. Bagaimana big bosnya? Bagaimana tuan dari big bosnya? Di belakang para mafia, ketahuilah, ada raja jin. Yang bisa menyulap batu bata jadi batangan emas. Sulit mengalahkannya.

Tapi aku percaya, kebenaran pasti menang. Cuma kapan? Menunggu Izrail mencabut nyawa big bos mafia? Auh capek deh.

Avatar photo

About Syaefudin Simon

Jurnalis Senior, tinggal di Bekasi. Penulis beberapa buku termasuk Ghost Writeer. Salah satu buku karyanya yang membaut ia menyesal membautnya adalah buku berjudul Korupsi No Bapak Pemberantas Korupsi