Foto : Beate Bachmann/Pixabay
Dalam kemajuan media komunikasi digital saat ini, ada sebuah fenomena menarik. Banyak orang merasa kompeten untuk membahas soal agama, Alkitab, Sang Pencipta, dan memutlakkan pikirannya serta kesombongan pribadinya. “Merasa diri paling benar keyakinan imannya, bisa menguasai dan mengatur Sang Maha Kuasa, bahkan berwenang mengadili kepercayaan dan iman orang lain yang berbeda dengan dirinya, sebagai kafir dan sesat. Anehnya, konten tentang yang demikian sangat banyak viewers dan peminat. Maka, para pembuatnya menjadi semakin bersemangat, dengan berbagai alasan dan kepentingan.
Ada banyak reaksi dan efeknya bagi pemirsa, tergantung kapasitas diri pribadinya, khususnya soal pengetahuan akan iman dan agamanya, juga agama lain. Maka, dalam era kebebasan informasi ini, akhirnya perlu diupayakan dari keluarga untuk kemampuan memilah dan memilih informasi yang terus membanjir melalui media komunikasi digital. Saya menuliskan refleksi tentang fenomena tersebut dalam sajak:
Mempertengkarkan Sosok Sang Maha Ada
Pagi bangun melihat matahari
kunamai Dia Sang Mentari
Malam kegelapan meliputi alam
kunamai Dia Sang Gelap
Kulihat bintang bulan angkasa
kunamai dia Sang Angkasa
Dan
Saat kudiam sadari nafas
kunamai Dia Sang Nafas
Saat merasakan detak jantung
kunamai Dia Sang Jantung
Saat aku sadari pikiranku
kunamai Dia Sang Berpikir
Saat alami sedang hidup
kinamai Dia Sang Hidup
Saat tahu pasti mati
kunamai Dia Sang Mati
Dia Sang Maha Nama
Ketika ke ladang petani
tanah diolah memberikan hasil
ditanam aneka benih rezeki
melewati berbagai alur musim
disertai ragam doa ritual
Kutanya pada para petani
siapakah nama Tuhanmu
Dan
Mereka menjawab banyak nama
Dia itu Ibu Bumi
Dia itu Bapa Angkasa
Dia itu Sang Pencipta
Dia itu Sang Hyang Agung
Dia itu Sang Hyang Angin
Dia Pemilik hidup mati
Dia Sang Empunya semua
Dia juga Pemilik benih
Dia juga Pemberi panenan
Dia Maha segala ada
Mengapa Dia harus disajeni
Mengapa kalian membuat ritual
Apakah bukan menyembah berhala
dan melawan ajaran agama ?
Mereka tulus bercerita
Kami hanya tahu bahwa
Leluhur mengajarkan tradisi ritual
memberi contoh sesuai pengalaman
lalu kami ada terlahir
hidup dari apa adanya
termasuk ritual sesaji sembah
kepada Sang Hyang Maha Ada
dengan semua nama itu
dan kami alami Dia ada
kami selalu alami kehadiraNya
kami tidak bisa mengarangNya
kami hidupi warisan leluhur
Bukan pertengkarkan keimanan sesama
yang berbeda dari kami
Kami terlahir disini begini
Ketika berkelana mengembara
kulihat banyak rumah ibadah
kutemukan aneka tempat ritual
kujumpai seniman, tokoh agama
kudengarkan para bijak pandai
juga aneka sosok pribadi
Dan
mereka punya pengalaman pribadi
tentang Sang Maha Ada
dengan nama yang berbeda
dan cara ritual berbeda juga
yang diyakini benar suci
Tanpa mempersoalkan iman sesamanya
Maka
kukagum dan terpesona
Dia Sang Maha Ada
Dia Sang Maha Kaya
Dia ada dimana-mana
Dia Sang Hyang Agung
Semuanya milik kepunyaan Dia
Duduk diam dan berpikir
fakta adanya aneka budaya
fakta ada berbagai kepercayaan
fakta ada bermacam agama
yang tersebar di seluruh dunia
yang mewarnai sejarah manusia
Tidak ada seorang pun meminta terlahir di bumi ini
Pengalaman religius pribadi insani
akan Sang Maha Ada
Yang nyata sekaligus misteri
Yang satu sekaligus banyak
Yang dialami sekaligus dibayangkan
Yang dekat sekaligus jauh
Jawaban sekaligus pertanyaan
Sungguh pesona sekaligus menggentarkan
Dan
ada rasa aneh heran
Mengapa dipertengkarkan manusia
Mengapa dibandingkan dan diperdebatkan
Mengapa ada saling menghina
Mengapa ada yang memaksa ajarannya paling benar dan mengkafirkan sesama yang berbeda dengan pengalamannya
Bahkan
ada yang merasa paling hebat untuk membela Sang Maha Ada dan dirinya menjadi pemilik tunggal serta pengatur Sang Maha Pencipta
Lalu,
Lahirlah kebencian iri dengki permusuhan
Hadir aneka kekerasan dan pembunuhan atas nama kebenaran agamanya serta atas nama Allahnya
Membunuh sesama yang berbeda
Saya teringat sebuah pendapat
Rabindranath Tagore berkata:
“Jika untuk masuk sorga, saya harus membenci penganut agama dan kepercayaan lain, maka saya tidak akan injakkan kaki di sorga”
Dan
Sang Maha Ada tersenyum
berikan hembusan angin udara
untuk nafasku dan nafasmu,
nafas semua manusia di bumi
dari udara yang sama
Ternyata…
“Kita sesama satu udara
kita semua sa-udara alam”
Perlukah bertengkar saling bunuh
Mempersoalkan Sang Maha Ada
Memperebutkan udara untuk nafas
Mengklaim tanah untuk jejak kaki dan kubur jazad kita
Dan saling bunuh memperebutkan sinar matahari dan gelap malam