MAHLUK HALUS

Kita ini lucu. Kita cenderung takut kpd sesuatu yg tak kita mengerti atau tak terlihat. Contohnya:…hantu. Berapa banyak kita memberi nama kpd mahkuk tak terlihat itu? Mari kita hitung. Mulai dari: hantu, setan (atau dgn huruf ‘y’ – supaya lebih mantap: syetan), iblis, kuntilanak, pocong, genderuwo, leak, jurig, memedhi, dll, dst. Semua nama itu langsung membuat otak atau benak kita secara spontan berfikir bahwa semua nama itu dlm konotasi menyeramkan atau paling tidak: negatif. Bukan berfikir sebetulnya. Lebih tepat jika dikatakan bahwa otak kita secara otomatis ‘men-set’ sedemikian rupa. Karena sejak kecil sdh dijejali oleh lingkungan terdekat bahwa hal itu adalah sesuatu yg menyeramkan.

   Jika kita melakukan sesuatu yg tak menyenangkan, tak baik atau kita berada di suatu tempat atau suasana tak baik, maka…mahluk halus (yg tak pernah kita lihat itulah) yg disalahkan.

Jika kita atau seorang teman bergurau dgn memegang suatu benda yg dapat mencelakakan, maka akan terdengar seseorang mengatakan: “Hati-hati dgn benda itu,…nanti jika setan lewat, bisa (men)celaka(kan).

   Aku sendiri (seperti hampir semua orang), belum pernah secara langsung melihat, diperlihatkan atau sang mahluk halus ‘menampilkan diri’ dihadapanku. Selalu (lagi-lagi seperti hampir semua orang) mendengar cerita dari mulut-ke mulut (dari mulut ke telinga, sebetulnya haha). Hanya,…merasa seperti ada sesuatu yg ‘hadir’ (bolehjadi juga perasaanku saja, karena ‘dicekoki’ cerita itu sejak kecil) di dekatku.

   Pengalaman dgn ‘mahluk’ halus itu aku alami sejak kecil. Dan semua cerita adalah: “katanya”. Pernah ketika menonton film tancep, aku tertidur. Menjelang pagi, teman-teman yg nonton bersamaku tak terlihat, mungkin sdh pulang. Aku pun beranjak pulang. Sebetulnya tak terlalu jauh, hanya 2-3 kampung tetangga saja. Tapi karena sendiri, gelap dan harus melalui pohon asem besooaar yg (lagi-lagi) katanya angker, maka aku jadi agak ragu. Tapi harus pulang. Karena tak ada penonton lain yg aku kenal, jadi kurang ‘fun’. Nah, lihatlah,…kata angker pun agak banyak versi penjabarannya. Angker: suatu tempat yg agak misterius, gelap, membuat bulu kuduk merinding, seperti ‘ada sesuatu’ tapi tak jelas apa. 

  Jika melewati pohon asem besooaar itu, katanya tak boleh berisik, harus diam, boro-boro bergurau (lagi pula aku sendiri, mau bergurau dgn siapa?). Nah, ‘tata-cara’ melewati pohon asem itu pun sudah menjadi drama mencekam tersendiri bukan? Jika berhasil lewat, lalu bbrp langkah kemudian ada sesuatu yg berbunyi bergerosak atau bergedebuk,…jangan menoleh, apalagi mencari sumber suara itu. Boleh jadi itu adalah…sesuatu yg besar menggelindi g,…hiiiiii!

Maka, ketika kewat, aku menahan nafas, wajah tegang, langkah cepat. Hla kok benar saja,…ada suara…krosak, gedebug!

Tapi aku tak berani menoleh. Langkahku semakin cepat. Setelah agak jauh, barulah aku berani menoleh, eh tepatnya melirik. Ternyata tak ada apa-apa. Suara krosak, gedebuk tadi, bisa saja: kucing atau anjing atau musang, atau tupai yg keluar dari semak-semak, terus berlari, kembali masuk ke semak-semak.

   Ketika remaja, relatif tak terjadi hal-hal menyeramkan yg berhubungan dgn mahluk halus itu. Bukan menyeramkan tapi malah lucu, menurutku. Ketika itu kami kemping di pulau Onrust (slh-satu pulau di gugusan kepulauan seribu). Ada teman yg bbrp kali menyalakan lampu teplok tetapi selalu padam. “Seperti ada yg meniup”, katanya. “Ya iyalaaah,…yg meniup itu pasti angin” kataku sekenanya. Ketika tidur setelah makan seadanya tapi enak dan kenyang dan begadang, aku menggeletak begitu saja. 

   Jaket aku gulung-gulung, aku letakkan di sebuah batu. Ketika bangun, aku agak terkejut. Temanku lebih terkejut. Ternyata aku tidur di atas makam. Batu itu adalah nisan. Masih terbaca tulisan elok grafir di batu itu. Sebuah nama Belanda, lengkap dgn tgl lahir, jabatan semasa kerja ketika msh hidup dan tgl kematian. Tertulis tahun 17 sekian. Temanku bertanya, apakah aku tak merasakan apa-apa semalam. Aku menjawab dgn bergurau: “Ah,…rasanya gw pules-pules aja tidur semalam. Lagi pula, meneer ini kan sudah mati dua abad lalu. Kalau pun jadi hantu,…hantunya pun sudah mati lagi”…

   Ketika bekerja, kantorku menyewa sebuah komplek atlet. Kami, kerap menginap. Suatu malam, ketika hendak tidur aku mendengar suara gejebur di kamar mandi. Aku fikir, eh siapa pula yg mandi tengah malam. Setelah aku tengok, ternyata pintu kamar mandi terbuka. Lantainya kering.

   Oya, ada anekdot sekitar hantu atau setan. 4 orang sdg bermain kartu. Berjudi di sebuah perahu. Org yg sdg berjudi, biasanya selalu mengeluh tentang kekalahan, meski menang. A: “Wah, gw kalah banyak nih. Betul-betul hari yg buruk”/ B: “Gw juga, menang sekali kalah 3 kali”/ C: “Gw juga”/ D: “Saaaaama!”. Si A yg rupanya kakah paling banyak jengkel: “Busyeeet,…kita maen kartu berempat,…masak semua kalah. Yg menang setan ‘kali. Tiba-tiba…ghebuuurrr. Perahu terbalik. Ke-4 penjudi terjungkal ke laut. Terdengar suara menggelegar (suara setan?): “Dasar manusia! Dari tadi gw gak ikut maen. Nonton doaaang!…