MAKE JOKA–EDY CHAN Madiun Kota Gerakan Budaya Petarung Kehidupan

Make Joka

Oleh HARRY TJAHJONO

Semboyan Kota Madiun yang resmi adalah Kota Kharismatik. Kemudian ada lagi tagline Madiun Kota Pendekar. Selain mengacu pada eksistensi sejumlah perguruan silat di kota itu, dimaksudkan sebagai akronim dari perwujudan visi misi Walikota Madiun Maidi, yakni: Pintar. Melayani, Membangun, Peduli, Kharismatik. Dan sejak Desember 2018, muncul sebuah gerakan budaya yang dipelopori komunitas Petarung Kehidupan (PTK). Semboyan PTK adalah: Saling Mendukung dan Saling Menguatkan.

“Berkantor” di Pasar Besar Kota Madiun,  awalnya PTK adalah komunitas sekitar 40-an orang yang berprofesi juru parkir, satpam, pedagang, pekerja informal, pelatih bela diri, pemilik resto kuliner, seniman, aktivis, jurnalis dan pengusaha. Sebuah komunitas lintas agama, politik, pendidikan dan status sosial ekonomi. Ada satu hal penting yang menjadi pengikat PTK, yakni: mereka pecinta, pegiat dan pelaku fanatik seni bela diri silat, kickboxing, muathay, boxing dan pelbagai olahtarung lainnya. Tak heran jika mereka juga dikenal sebagai tukang kelahi.

Empati Kemanusiaan

Komunitas PTK diketuai Joko Bambang Setiyono yang panggilan akrabnya Make Joka, dan wakilnya Edy Chan. Sebagian besar anggotanya tergabung dalam sasana fighting club Tunas Muda yang dikelola Make Joka, dan sudah

mengukir sejumlah prestasi kejuaraan tingkat provinsi dan nasional.

Di balik nama PTK yang terkesan keras dan seram, tercermin empati kemanusiaan. Meskipun bukan organisasi yang besar dan bersifat informal, PTK mempunyai kas tempat mereka menyisihkan tabungan untuk  digunakan berobat dan keperluan lain. Ketika tabungan terkumpul lebih dari cukup, “Kami sepakat untuk digunakan bagi keperluan di luar PTK,” kata Make Joka.

Maka pada 11 Januari 2019, PTK menggelar bakti sosial donor darah dan pengobatan gratis bagi anggota dan warga Pasar Besar Madiun. Sebulan kemudian, 13 Februari 2019, PTK kembali melakukan bakti sosial dalam bentuk memberikan penghargaan dan apresiasi kepada bakul ojogan, kuli panggul, tukang sapu, juru parkir, penjaga keamanan dan jenis “pekerjaan rendah” lainnya di Pasar Besar Madiun.

“Kami memilih mereka karena mereka adalah petarung kehidupan yang sebenarnya. Mereka menafkahi hidupnya dari pekerjaan yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap rendah, dan oleh karena itu sering diremehkan, disepelekan,” kata Edy Chan.

“Kami sudah lebih dari sepuluh tahun mengenal mereka, sehari-hari bertemu dan bergaul dengan mereka. Jadi, wajar jika kami punya ikatan emosional dan kesamaan nasib dengan mereka. Menurut kami, mereka memiliki integritas dan rasa hormat pada profesinya sebagai bakul ojogan, tukang sapu, juru parkir dan jenis pekerjaan halal lain tapi dianggap rendah oleh orang lain. Mereka sudah puluhan tahun menjalani pekerjaan itu dengan setia, sudah selayaknya jika kami mengapresiasi dan menghormatinya,” tambah Make Joka.

Gagasan tersebut serta merta mendapat dukungan  “anggota” PTK dari kalangan aktivis, jurnalis, seniman dan pengusaha, antara lain Herutomo, Andro Rohmana, Suyatno Mongas, Herry Kusdianto, Edy Nugroho, Ukki Cahyajati, Budi Santosa, Faizal Rahman, Donny Aries, Adi Jaguar serta sejumlah istri “anggota’ PTK dan perempuan pegiat seni bela diri. Aparat kepolisian, yang awalnya khawatir bakti sosial tersebut mengundang kericuhan karena diselenggarakan di dalam pasar, akhirnya memberikan ijin dan memberikan dukungan.

“Acara itu juga mendapat apresiasi dan dukungan dari Pak Djoko Suyanto, mantan Panglima TNI yang asli Madiun, dan kebetulan sahabat Oom Herutomo. Bahkan melalui Oom Herutomo, Pak Djoko menyarankan supaya nominal penghargaan sebaiknya lebih besar supaya bisa digunakan untuk modal kerja. Setelah kami pertimbangkan, nominalnya kami naikkan menjadi satu juta rupiah. Sesuai kemampuan kami,” kata Make Joka.

Selain memberikan penghargaan dan apresiasi kepada bakul ojogan, kuli panggul, tukang sapu dan mereka para “petarung kehidupan” yang sudah puluhan tahun hidup dan menghidupi Pasar Besar Madiun, di acara yang berlangsung di tengah pasar tersebut juga membagikan meja lipat dan alat tulis bagi 25 anak SLB penyandang disabilitas.

Spirit Solidaritas Gerakan Budaya

Dalam diskusi dan obrolan di warung kopi, komunitas PTK sepakat menetapkan bahwa seluruh kegiatannya disebut sebagai gerakan budaya dan berada di jalan budaya. Sebuah pilihan ketika gerakan dan atau jalan politik, hukum, akademis, bahkan agama, semakin cenderung bukan lagi sebuah jalan keluar dari permasalahan berbangsa melainkan telah menjadi panggung kompetisi bagi pertarungan antarmereka yang tak bisa lain harus saling mengalahkan, menyingkirkan, bahkan meniadakan.

Ketika jalan politik berujung pada praktik kolusi-korupsi-nepotisme, jalan hukum seringkali mengabaikan keadilan, jalan ekonomi tidak menjembatani melainkan justru menambah lebar jurang si kaya-miskin, jalan akademis telah dimanipulasi plagiarisme skripsi/disertasi bajakan dan ijasah palsu, bahkan jalan agama cenderung menjauhkan surga lantaran disesatkan rambu-rambu fanatisme yang mengebiri toleransi dan bahkan menghalalkan kekerasan, pilihan menempuh jalan budaya layak dipilih oleh karena lebih memberikan pengharapan.

Dalam pemaknaan yang sederhana, jalan budaya adalah sebuah upaya memuliakan daya kreatif dan kreativitas inovatif yang mengedepankan tindakan dalam wujud karya nyata. Berwatak antikekerasan. Berciri melengkapi dan menggenapi dalam arti eksis tanpa meniadakan eksistensi yang lain. Jalan budaya adalah spirit solidaritas untuk saling mendukung dan saling menguatkan. Untuk mendorong terwujudnya kerukunan sosial.

Maka, pada 12 Maret 2019, PTK bekerjasama dengan Jaringan Pekerja Budaya Nusantara yang antara lain beranggotakan Sys NS, Arswendo Atmowiloto, Roy Marten dan sejumlah seniman nasional lain, menggelar Dialog Budaya Rukun Agawe Madiun, Madiun Agawe Rukun. Acara tersebut diadakan di Hotel Aston Madiun, dihadiri aktor dan budayawan Slamet Rahardjo, jurnalis senior dan pengusaha Mas Soegeng, dan Walikota terpilih Maidi.  Meskipun tidak hadir, Arswendo, Roy Marten, Staf Khusus Presiden Prof. Ahmad Erani Yustika dan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengirimkan tulisan yang pada hakikatnya mengapresiasi dan mendukung upaya mewujudkan kerukunan sosial sebagai modal utama membangun bangsa.

Tuhan Lebih Dekat

Tapi, apakah semua bentuk kegiatan tersebut tidak menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa PTK melakukan pencitraan?

“Pencitraan apa? Kami tidak butuh pencitraan. Sudah puluhan tahun kami dianggap sebagai orang pinggiran, kuli jalanan, kelas rendahan, tukang ribut dan stempel negatif lainnya. Ya biarin saja. Kami tidak pernah mengingkari bahwa sebagian besar anggota PTK adalah juru parkir, pedagang kaki lima, jauh dari pendidikan akademis. Buat kami itu tidak pernah jadi masalah. Kami baik-baik saja dan bahagia. Lalu buat apa repot-repot bikin pencitraan?” tegas Make Joka.

Satu hal penting yang ingin disampaikan kepada publik, menurut Make Joka, ”Adalah bahwa PTK itu komunitas lintas agama, lintas politik, lintas status sosial ekonomi dan lintas perguruan silat. Madiun ini kan dikenal sebagai Kota Pendekar, pusat dari beberapa perguruan silat yang kadangkala pernah berselisih. Sebagian besar anggota PTK memang dari salah satu perguruan silat, tapi ada juga dari perguran silat lain. PTK adalah komunitas terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang apa agamanya, apa partainya, apa perguruannya, apa pendidikannya dan lain sebagainya. Spirit PTK adalah saling mendukung dan saling menguatkan. Titik!” lanjut Make Joka.

Apakah itu berarti PTK tidak lagi menanggung anggapan sebagai kelompok yang dikenal tukang kelahi? “Kami tumbuh di jalanan dan memang senang berantem. Maklum, sebagian anggota PTK adalah petarung boxing, muathay, kickboxing dan pesilat yang banyak di antaranya memenangi pertandingan olahtarung di tingkat daerah maupun provinsi. Jadi, nyali berantem itu perlu dirawat, tujuannya untuk disalurkan di ring pertandingan. Kalau tidak dirawat, nanti pas naik ring malah kebanyakan basa-basi, gampang di KO,” kata Edi Chan, tertawa.

Sepanjang 2017-2020, atlet PTK memang berhasil meraih puluhan menjuarai ring pertandingan tingkat daerah, regional dan provinsi Jawa Timur. Dan seluruh upaya serta biaya untuk itu dilakukan PTK secara mandiri. “Terkadang juga ada donasi dari simpatisan PTK. Sedangkan dari KONI sebatas sumbangan pribadi dari Pak Tatok Raya, sahabat PTK, Ketua KONI Madiun. PTK tidak bisa mendapat bantuan dana dari KONI oleh karena secara prosedur dan kelembagaan memang belum memenuhi syarat. Tapi, dengan dukungan anggota PTK, kami mampu membiayai sendiri,” kata Make Joka.

Prestasi di ring olahtarung dan Gerakan Budaya PTK, pada akhirnya membuat sejumlah kota lain bergabung dan mendirikan PTK. Menurut Make Joka, “Selain Kota Madiun, yang sudah ada PTK antara lain Kabupaten Madiun, Ngawi, Ponororo, Magetan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Nganjuk dan belum lama ini teman di Papua juga mendirikan PTK. Jumlah anggotanya di Kota Madiun saja sekitar 450 orang. Jika digabung dengan kota lain, anggota PTK tentu lebih dari 5.000 orang.”

Perkembangan PTK sebagai komunitas informal, membuahkan gagasan untuk menjadikannya organisasi yang memiliki legalitas hukum.  “Kami mendapat saran dari Oom Herutomo, sesepuh dan penasihat KPK, untuk menjadikan PTK sebagai organisasi legal. Awalnya saya memandang legalitas itu tidak perlu. Tapi, saya dan kawan-kawan PTK memang perlu belajar berorganisasi. Karena itu sejak Juli 2019, kami mulai mengurus legalitas PTK,” kata Make Joka.

Dan pada 5 Februari 2020, PTK resmi mendapatkan legalitas sebagai ormas dari Depkumham dengan nama Petarung Kehidupan Nusantara. Sebagai Penasihat Oom Herutomo, Ketua Make Joka, Wakil Ketua Edy Chan, Sekretaris Edy Nugroho, Bendahara Faizal Rahman. Anggota PTK dikenakan iuran per bulan 20 ribu rupiah. “Ada yang tertib membayar, ada juga yang enggak. Hahaha. Tapi, kebanyakan membayar iuran lebih dari 20 ribu, antara 50-100 ribu setiap bulannya,” kata Edi Chan.

Dengan uang kas yang terkumpul dari iuran, PTK meningkatkan pelatihan atlet olahtarung di Sasana Tunas Muda. Meski pandemi Covid-19 melanda dan panggung kejuaraan olahtarung mustahil diadakan, latihan terus dijalankan dengan serius dan konsisten.

Akan halnya Gerakan Budaya PTK ketika pandemi terjadi, diwujudkan dalam bentuk bakti sosial: setiap Jumat dan Minggu, PTK membagikan sembako atau makanan kepada tukang becak, lansia, panti asuhan dan mereka yang terdampak pandemi. Selama lebih dari satu setengah tahun, PTK secara rutin dan konsisten setiap Jumat dan Minggu mendatangi panti asuhan, asrama difabel, kaum lansia dan mereka yang terdampak pandemi. Membagikan sembako, makanan, doa dan semangat salig mendukung dan saling menguatkan.

“PTK punya dana dari iuran anggota. Meskipun sudah kami gunakan untuk bakti sosial selama pandemi, di kas PTK masih ada sekitar 37 juta rupiah. Dana bakti sosial itu kami ambil iuran anggota, dari donasi anggota, juga dari Tuhan,” kata Make Joka.

PTK memang bukan organisasi yang berwajah religius. Mereka lebih tampak sebagai sekumpulan orang berbadan atletis, sangar, dan sebagian bertato. Namun, pada siang atau malam hari ketika mereka berkumpul di Pasar Besar Madiun, selalu terdengar suara canda tawa bahagia di sela senandung sayup bahwa, ”Tuhan lebih dekat dari penglihatan dengan mataku. Lebih dekat dari bau dengan lubang hidungku. Lebih dekat dari suara dengan telingaku. Lebih dekat dari cinta dengan hatiku. Lebih dekat dari pikiran dengan otakku. Lebih dekat dari nyawa dengan ragaku.*

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara