Kapal dari laut terdorong ke tengah kota Banda Aceh, 31 Desember 2004. Semalaman, tanggal 28 Desember 2004, saya ‘bergerilya’ di depan Bandara Medan, mencari ‘teman’ yang sama mau masuk lewat darat ke Aceh, menyusur pesisir timur laut, Langsa, Lhok Seumawe, dan Kota Sigli di Kabupaten Pidie yang jadi sasaran kerja saya selain Banda Aceh. Lima ‘teman’ yang sama terbang dari Jakarta dan sama ingin ke Aceh sudah didapat. Tapi siapa sopir yang siap antar masuk Aceh? Foto: Astri Aditya.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
TANGGAL 26 Desember 2004, juga di hari Minggu, tsunami memporak-porandakan Aceh,” tulis Bang Asri Aditya, senior saya saat di Majalah femina. Catatan singkat di WhatsApp Group itu langsung mengajak ingatan saya melayang ke minggu kitaran pukul 10:00 pagi, saat asyik ngopi di rumah kakaknya Resti di Kota Bogor, dan terbetik berita: gempa-tsunami besar menerjang Aceh.
Dua hari sebelumnya, saya baru pulang ‘tugas’ dari Banda Aceh dan Sigli – Pidie. Di kota dan kabupaten Nangroe Aceh Darusalam / NAD (begitu sebutan Provinsi Aceh saat itu), sejak tahun 2000 Femina Grup punya program corporate social responsibility (CSR) membangun gedung-gedung sekolah dasar dan madrasah (meunasah) ibtidaiyah yang rusak terbakar tersebab konfik sosial saat itu
Saya dan Bang Asri adalah bagian dari tenaga lapangan yang mendapat tugas langsung dari pimpinan tertinggi kantor kami, untuk bolak-balik ke Aceh (yang daerah ‘pedalaman’nya, tempat dimana kami membangun gedung sekolah, masih sukar ditembus dan didatangi oleh ‘orang luar’ Aceh) untuk mengontrol pelaksanaan pembangunan, yang sepenuhnya ditangani tenaga dari Aceh.
Begitulah…! Selang beberapa menit usai tersiarnya berita gempa-tsunami Aceh, masuk pesan tugas dari kantor, untuk saya (dan Bang Asri) kembali masuk ke Aceh, memotret situasi terkini dan dampak yang langsung dirasa masyarakat, disamping tentu…untuk melaporkan apa-apa yang ikut rusak dari gedung-gedung sekolah yang sudah dan sedang kami bangun di lebih dari sebelas desa di Aceh.
Siang itu juga, berbekal ‘segepok’ uang tunai dari kantor (karena sistem perbankan dan gerai ATM ikut rusak dirangsek tsunami) plus one-way-ticket Bandara Soetta ke Bandara Sultan Iskandar Muda – Banda Aceh saya balik ke Aceh. Saat itu baru ada 3 sortie penerbangan sipil ke Aceh, semua cuma dari Jakarta dan dilayani Garuda Indonesia, dan hanya singgah di Medan.
Beruntung, Bang Asri sudah terbang lebih dulu menuju Banda Aceh, dengan penerbangan sortie ke-2 siang hari. Saya bilang beruntung karena penerbangan ketiga (dimana saya berencana terbang) ke Aceh dan terakhir untuk hari itu, ternyata ditunda untuk batas waktu tak terhingga. Bahkan kemudian tersiar khabar resmi, Bandara Aceh ditutup sementara untuk penerbangan sipil. Wah…!
Percaya nggak percaya, saya terpaksa menginap semalam di kursi Bandara Soetta. Baru pada sore hari tanggal 27 Desember 2004, itu pun berkat bantuan Mas Pudjo Martono, Ka Humas Garuda tempo itu, dengan tiket yang sama saya bisa terbang. Itu pun cuma sampai ke Medan, kerena Bandara Banda Aceh ditutup, selain pesawat cargo pengangkut bantuan logistik, obat-obatan, tenaga SAR dan Medis.
Semalaman, tanggal 28 Desember 2004, saya ‘bergerilya’ di depan Bandara Medan, mencari ‘teman’ yang sama mau masuk lewat darat ke Aceh, menyusur pesisir timur laut, Langsa, Lhok Seumawe, dan Kota Sigli di Kabupaten Pidie yang jadi sasaran kerja saya selain Banda Aceh. Lima ‘teman’ yang sama terbang dari Jakarta dan sama ingin ke Aceh sudah didapat. Tapi siapa sopir yang siap antar masuk Aceh?
Ada fenomena transportasi cukup lucu zaman itu. Bagi yang hendak bepergian lewat jalan darat ke Aceh, atau antarkota dan kabupaten di Aceh sendiri, yang pertama harus dipastikan bukan kendaraan apa yang akan mengangkut (karena selain bus umum, ada banyak angkutan pelat hitam melayani trayek ke dan di Aceh) melainkan siapa sopir yang berani dan bersedia menyopiri kendaraannya, hi…hi…hi…!
Maklum, saat itu kondisi di Aceh memang belum sekondusif saat ini. Dimana-mana ada pos penjagaan, baik pos resmi yang dijaga TNI ataupun Polri, maupun ‘pos’ tak resmi yang mendadak bisa saja menghadang di tengah jalan, dilakukan sekelompok orang yang entah siapa, yang salah-salah langkah bisa menghambat perjalanan kita buat sampai ke tujuan.
Syukurlah seorang ‘teman jalanan’ memberi saya satu nama sopir sekaligus pemilik sebuah jip tua, yang bisa diminta mengantar masuk Aceh. Ke tempat mangkal sopir itu, tak jauh dari Bandara Polonia Medan kami menuju, mengungkap tujuan kami, nego ongkos yang kami masing-masing harus bayar, dan mendengarkan saran Bang Sopir apa-apa yang mesti dilakukan bila ketemu ‘pos liar’ di jalan…
Alhamdulillah tak ada hambatan berarti di tengah jalan. Sore tanggal 29 Desember 2004. delapan jam terguncang-guncang di kabin jip tua sejak dari Medan, saya tiba di Sigli – Pidie. Langsung menuju rumah kontak kami (Kepala Sub-Dinas Pendidikan} yang bersama Bupati Pidie perupakan ketua pembangunan sekolah-sekolah oleh Femina Grup di kabupaten itu.
Tak ada kerusakan berarti pada sekolah-sekolah yang kami bangun di Pidie, Pembangunan bisa terus berlanjut bila situasi kondusif. Pagi tanggal 31 Jnuari 2004, saya diantar seorang petugas Kabupaten Pidie, 3 jam bermobil ke Banda Aceh untuk jumpa Bang Asri Aditya, berkeliling menyaksikan kota yang porak-poranda, menikmati pergantian tahun baru 2005 di antara reruntuhannya. Duh…! ***
28/12/2021 PK 11: 16WIB