Mamio Ala Batak Do Hita

Oleh NESTOR RICO TAMBUN

ADA banyak hal yang membuat mata saya sering mengaca dalam mengikuti Aksi Jalan Kaki #TUTUPTPL yang dilakukan TIM 11, Togu Simorangkir dan teman-teman.

Hal pertama adalah melihat mereka mengayun langkah, menyusuri jalan dibawah sinar matahari yang panas, di jalan yang kadang menanjak. Mereka selalu gembira, penuh canda dan tertawa-tawa. Tapi dalam hati saya menangis, Tuhan, lihatlah untuk apa teman-teman kami melakukan ini…

Hal kedua adalah sambutan dari orang-orang Batak sepanjang perjalanan mereka. Menyapa, memberi semangat, memberikan makanan atau minuman, atau barang apa saja yang mereka punya. Juga lembar-lembar uang yang mereka miliki. Semakin sedikit uang yang bisa mereka berikan, justru saya makin disaput haru. Lihat, betapa mereka begitu tulus…

Namun, yang membuat saya menangis haru sekaligus bangga, adalah melihat beberapa keluarga Batak yang “mamio” mereka dengan tulus, mengundang menginap sekaligus menjamu mereka makan minum. Tuhan… perjalanan TIM 11 ini telah memulihkan jiwa kami sebagai orang Batak. Ternyata di tempat rantau yang jauh, orang-orang Batak masih memelihara tradisi yang diajarkan orang-orang tua kami dahulu.

MAMIO adalah mengundang (secara khusus) untuk jamuan. Kata ini berasal dari kata “piopio”, yang artinya undangan, atau panggilan.

Mamio biasanya dilakukan terhadap keluarga dekat, orang yang dihormati, atau disayangi. Waktu saya kecil, saya ingat Inong beberapa kali “mamio” paraman-paramannya, anak tulang kami, dan penganten baru di kampung kami.

Inong putri tunggal, saudara laki-lakinya (tulang kami) ada empat. Anak-anak 4 tulang ini umumnya merantau, tapi biasanya menikah di kampung. Biasanya Inong “mamio” paramannya penganten baru itu makan. Inong memotong ayam besar. Inong juga melakukan itu terhadap penganten baru sesama kerabat di huta kami. Juga kalau anak-anak tulang kami pulang kampung membawa anak-istri/suami.

Intinya, mamio adalah mengundang makan dalam momen khusus sebagai tanda hormat dan kasih-sayang. Namun, menurut orang-orang tua, dahulu mamio juga sering dilakukan sebagai jalan menyampaikan suatu permintaan. Misalnya, keluarga boru yang mamio ito atau hula-hulanya karena ingin meminta sesuatu.

Karena tradisi itulah, selesai makan biasanya orang yang dipio bertanya barangkali ada maksud atau permintaan orang yang mamio. Memang begitulah hukum dalam semua adat Batak. Semua acara adat dimulai dengan jamuan makan. Setelah makan baru pihak-pihak saling tanya jawab mengenai maksud-tujuan jamuan makan.

Dalam konteks mamio paraman penganten baru seperti yang dilakukan Inong, pertanyaan seperti itu juga mungkin ada, tapi hanya sekedar sopan-santun.

Saya ingat, salah seorang anak tulang yang berprofesi sebagai perwira muda militer dan baru menikah bertanya (kurang lebih): “Mauliate godang ma namboru. Tabo hian jagal manuk lompa-lompa ni namboru i. Atik adong na naeng sipasahaton manang pagidoan ni namboru (Terimakasih banyak lah, Namboru. Enak sekali ayam masakan namboru tadi. Tapi barangkali ada yang ingin disampaikan atau permintaan namboru).”

Seingat saya Inong hanya tersenyum. “Daong, Among, las nji rohangku do ro among dohot inonghon. Bai sai hatop hamu dapot parsaulion among (Nggak, Among, ini tanda bahagia saya among datang dengan inongku ini. Mudah- mudahan among cepat memperoleh berkah).” Seorang perempuan Batak biasa memanggil keponakan (anak laki) itonya among (bapak). Memperoleh berkah maksudnya dapat momongan.

Begitulah makna mamio. Menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang. Ditengah beberapa hari kemeriahan Festival Literasi Nusantara di Tomok, Samosir, awal Juli 2019, namboru Boru Gultom, ibunda Togu Simorangkir, mamio tiga pembicara, saya, Butet Saur Marlina Manurung, kang Maman Suherman, dan tim Gramedia (sebagai sponsor) dalam jamuan makana khusus di rumah Batak yang ada di Hotel Lopo.

Begitu jugalah yang dilakukan keluarga-keluarga Batak dan tokoh-tokoh. seperti pendeta-pendeta dari berbagai dominasi gereja, yang “mamio” TIM 11, sebagai rasa hormat, kasih sayang sekaligus dukungan. Rasa hormat karena TIM 11 berjuang untuk sesuatu yang berharga juga bagi mereka.

Saya yakin dan merasakan itu. Ketika memimpin doa makan pagi, saat mau melepaskan TIM 11, Amang Pakpahan, yang menyediakan rumahnya untuk tempat menginap TIM 11 di Rumpit, saya mendengar kalimat, “di na ro sisolhot nami sian Toba… (datangnya kerabat kami dari Toba)” Amang Pakpahan menganggap TIM 11 “sisolhot”, kerabat dekat, keluarga. Betapa haru.

Christian Gultom, salah seorang dari anggota TIM 11 membenarkan itu. “Sepanjang berjalan ini, beberapa kali kami menyaksikan mata orang-orang tua yang kami temui berkaca-kaca setiap pagi akan berpisah dengan kami. Menitipkan harapannya akan kerinduannya pada bonapasogit kembali seperti dulu indah dan asri yang ramah pada petani,” tulis Christian dalam komentar di tulisan saya “Manghuling Mudar…”.

Ya, saya tidak tahu bagaimana akhir dari perjalanan TIM 11 dan hasilnya nanti. Tapi bagaimanapun hasil itu, perjalanan 11 teman ini telah memulihkan jiwa-jiwa Habatahon. Menunjukkah kita sama-sama Batak. Ala Batak do hita….

Avatar photo

About Nestor Rico Tambun

Jurnalis, Penulis, LSM Edukasi Dasar. Karya : Remaja Remaja, Remaja Mandiri, Si Doel Anak Sekolahan, Longa Tinggal di Toba