Manghuling Mudar Memilihkan Jiwa

Oleh NESTOR RICO TAMBUN


Seorang sopir orang Batak mengalami kecelakaan dan tewas di daerah Sumatera Selatan. Ia sendirian, pulang dari mengantar rombongan carteran dari Jakarta.

Salah seorang polisi yang menangani kecelakaan kebetulan orang Batak. Ia memberitahu hal itu kepada seorang Batak yang cukup dikenal di daerah itu. Tidak berapa lama, orang itu dan beberapa orang Batak lain datang ke kamar jenasah di rumah sakit.

Tidak ada yang kenal, dan tidak ada yang satu marga dengan korban. Tapi “manghuling mudar”, berbunyi getaran darah mereka sebagai orang Batak. Ketika itu belum jaman ada HP seperti sekarang. Melalui seorang kenalan sesama polisi, polisi tersebut berhasil memberitahu keluarga si korban di Jakarta Timur. Istri korban hanya bisa menangis. Anak-anak mereka masih kecil.

Singkat cerita, dua orang dari orang Batak yang ada di sana mengantar mayat ke Jakarta. Mereka patungan membeli peti mati dan bayar ambulans. Tentu, dalam dukanya, keluarga korban amat bersyukur dan berterimakasih.


“Manghuling” artinya berbunyi. Mudar itu darah. “Manghuling mudar”, darah berbunyi atau tergetar. Istilah ini sebenarnya idiom untuk orang bersaudara, yang ada hubungan darah. Bagaimana pun orang bersaudara pasti akan saling memperhatikan, saling membela. Kalaupun sehari-hari hubungan tidak baik, kalau ada masalah, pasti tidak tega membiarkan. Kalau saudara ribut dengan orang lain, lepas dari salah atau benar, pasti akan membela saudara. Manghuling mudarna, darahnya tergerak.

Kalau di orang Batak istilah ini bisa berlaku untuk orang yang satu ompu, satu unit marga yang berkerabat dan biasanya satu kampung, orang yang satu marga, lain marga tapi berasal dari satu daerah, bahkan sekedar karena satu suku, sama-sama orang Batak seperti kasus sopir marga Simbolon tadi.

Ya, kalau di perantauan suku lain pun saya kira begitu. Sama-sama “halak hita” Batak, sama-sama “urang awak” Minang, sama-sama “wong kito” Palembang, sama-sama “kita basaudara” Papua, pastilah “manghuling mudar”nya kalau terjadi sesuatu.

Menurut cerita orang-orang tua dimasa saya kecil, di jaman perjuangan Raja Si Singamangara XII dan sesudahnya, banyak orang yang akhirnya jadi pendukung dan pejabat pemerintahan kolonial Belanda. Jadi demang, asisten demang, kapala nagari, kapala kampung, dan sebagainya. Tentu dengan para pendukung dan kerabatnya masing-masing.

Tapi dalam kehidupan di kampung-kampung di wilayah Tano Batak, banyak penduduk yang diam-diam tetap mendukung RSSM XII. Tetap “manghuling mudar” mereka sebagai Bangso Batak. Tetap ada tokoh-tokoh yang terhubung, atau dihubungi RSSM XII. Tentu secara rahasia.

Hal itu berlangsung hingga perang pasca gugurnya RSSM XII. Ada kesatuan yang disebut “Harimau Liar”, semacam pasukan rahasia yang kerjanya menangkap (dan biasanya dibunuh) orang yang menjadi mata-mata atau kaki tangan Belanda. Mereka ada di hampir semua wilayah dan saling berhubungan secara rahasia. Orang-orang yang sudah jadi pejabat Belanda mengincar mereka untuk dilaporkan kepada Belanda. Mereka ditangkap Belanda dan dikirim kerja rodi paksa di tempat jauh. Biasanya kerja rodi membuka jalan. Banyak yang meninggal atau jatuh sakit. Among kami, menurut Inong, salah seorang yang sakit-sakitan setelah pulang dari kerja paksa rodi di daerah Padang Sidempuan.

Di awal berdirinya Indorayon orang di wilayah Toba masih menunjukkan rasa kesatuan. Adanya konflik-konflik tanah ulayat dengan kelompok-kelompok marga, bau busuk yang memenuhi udara Toba, pecahnya tabung gas klorin yang menimbulkan chaos, mendorong penduduk di berbagai wilayah mengumpulkan tanda tangan agar Indorayon tutup. Penduduk juga kemudian melakukan unjuk rasa besar di simpang Siraituruk. Tapi kemudian mereka kocar-kacir karena dihadapkan dengan aparat kepolisian dan militer. Jangan lupa, itu era paduka Soeharto.

Peristiwa itu menimbulkan trauma besar. Tak lama kemudian terjadi kerusuhan besar lain yang agak tak masuk akal, perpecahan di huria HKBP. Orang Batak seperti terpecah-pecah. Terjadi keretakan sosial yang besar.

Indorayon terus berjalan meski banyak keluhan dan konflik. Tahun 1999 Presiden BJ Habibie sempat menghentikan operasional Indorayon. Tapi tiga tahun kemudian dibuka lagi di era Presiden Megawati, dengan ganti nama jadi TPL (Toba Pulp Lestari) dan hanya pabrik pulp (sebelumnya pulp dan rayon).

Sejak itu, TPL melenggang, meski tetap ada konflik (ingat kerusuhan di Pandumaan-Sipituhuta). Seperti di jaman Belanda, akhirnya ada orang-orang atau kelompok masyarakat yang mendukung TPL. Masyarakat terpecah, terjadi de vide et impera, seperti dilakukan Belanda. Kalau ada tokoh masyarakat adat yang agak menonjol dikriminalisasi dengan tuduhan yang dicari-cari, diperiksa polisi, lalu diadili.

Sekarang, 35 tahun sudah Indorayon/TPL, anak perusahaan grup Garuda Mas/Golden Eagle milik Soekanto Tanoto itu mengacak-acak Tano Batak. Merusak hutan dengan tanaman monokultur yang ditanam-ditebang, menimbulkan kehilangan flora-fauna hutan, penipisan sumber air, menimbulkan konflik-konflik sosial, mengadu domba antara pendukung dan penentang di masyarakat, merusak jalan raya dengan truk-truk over tonase, dan sebagainya.

Tano Batak seperti jadi mainan anak perusahaan milik keluarga Tanoto, salah seorang orang terkaya di Indonesia, bahkan untuk ukuran dunia (belum lama baca berita konon keluarga ini membeli bekas istana di Jerman seharga Rp 7 triliun). Tapi orang Batak seperti kehilangan rasa kebatakannya. Dang manghuling be mudar ni Batak i.

Begitu banyak orang Batak yang jadi pejabat, di sipil maupun militer, jadi orang-orang hebat, tapi seperti tidak peduli dengan perlakuan TPL. Mungkin ada sekitar 20 orang anggota DPR/DPD orang Batak dari daerah pemilihan yang ada konsesi TPL. Ada seorang mantan pejabat teras huria bolon yang jadi anggota DPD dari Sumatera Utara. Tapi tidak pernah mereka berbicara tegas tentang perusahaan ini, meski LSM dan kelompok masyarakat terus berkonflik.

DANG MANGHULING BE MUDAR NI BATAK I. Hebat ni Batak i, bau hutana i, kata lirik lagu satire amangboru Arif Girsang.

Saya kira itulah kerugian terbesar secara sosial-budaya dari hadirnya Indorayon/TPL di Tano Batak. Tano Batak diacak-acak oleh sebuah perusahaan yang berpusat di luar negeri, menimbulkan kerusakan lingkungan dan sosial, dan tidak memberi kemajuan berarti di lingkungannya. Kota Porsea, dan Kabupaten Toba biasa-biasa saja kok. Kalau ada yang bagus, seperti Hotel Labersa di Balige itu, karena pribadi-padi.

Suatu ketika perusahaan ini pasti akan tutup. Selain sejak awal menyimpan banyak masalah, membutuhkan banyak biaya sosial, hutan di kawasan Danau Toba sesungguhnya tidak mendukung untuk hutan tanaman industri (HTI) seperti ini. Bahasa bisnis adalah untung. Kalau rugi, ya berhenti. Tinggallah Tano Batak yang rusak, dan orang Batak yang terlanjur terpecah-belah.

Ingat itu, saya menjadi terharu mengikuti perjalanan Aksi Jalan Kaki #TUTUPTPL yang dilakukan TIM 11. Perjalanan mereka kini telah mencapai hari ke-26, menempuh hampir 1.000 kilometer, melintasi 4 provinsi. Sepanjang perjalanan orang-orang Batak mencegat atau menunggu mereka. Sekedar menyalam atau memberi dukungan, Memberi uang, 20, 50, 100, atau 500 untuk menambah bekal di jalan. Memberi air minum mineral, buah, masker, minyak urut, atau pakaian. Bahkan beberapa keluarga “mamio” mereka, mengundang menginap dan menjamu makan. Di tempat yang jauh dari Tano Batak, “manghuling mudar” Habatahon mereka.

Terimakasih, Tuhan. Perjalanan ini sudah memberi inspirasi dan “memulihkan jiwa” orang Batak. Kita masing-masing berjuang untuk kehidupan diri kita dan keluarga kita, di tempat-tempat yang berbeda, tapi masih ada rasa kita sama-sama Bangso Batak, sama-sama berasal dan pemilik Tano Batak. Halak hita! Pulihkan jiwa dan mudar Batakmu……

Avatar photo

About Nestor Rico Tambun

Jurnalis, Penulis, LSM Edukasi Dasar. Karya : Remaja Remaja, Remaja Mandiri, Si Doel Anak Sekolahan, Longa Tinggal di Toba