Seide.id – Menjadi manusia bebas dan merdeka namun bertanggungjawab serta punya ‘goal’ dari sebuah keinginan, itu membahagiakan diri saya. Apalagi bila semua dilakukan tanpa tekanan tanpa paksaan, rasanya kemerdekaan sejati sebagai individu yang ‘human being’ sudah membuat hidup jadi lebih berarti dan terasa ringan.
Saya berkaca pada ayah saya Gerson Poyk (GP), suatu hari dia dapat royalti sebesar lima juta, saya bilang padanya untuk memanage uang itu baik-baik agar cukup hingga bulan berikutnya. Namun beberapa hari kemudian ayah saya bilang uangnya sudah habis dibagi-bagikan ke teman2nya yang susah dan belum makan.
Dahulu di Bali, kala kami baru punya televisi, tatkala temannya mengeluh anaknya ingin nonton TV, benda ajaib yang buat kami sangat mewah itu langsung diberikan pada temannya. Begitu juga dengan sepeda satu2nya milik ayah, dia jual untuk temannya, masih ada kaki yang bisa digunakan kata ayah saya.
Dalam pertemanan pun demikian, ketika ayah saya melihat seorang teman yang gaya menulisnya selalu condong ‘memuja’ orang penting, dia melihat itu gaya tulisan pop yang tak berkualitas, ayah saya langsung bilang padanya kalau tulisannya seperti belalai gajah yang menjilat ke atas dan kakinya menendang ke belakang. Ayah akan memuja orang sampai mati jika orang itu dilihatnya idealis dan penuh kasih.
Saya melihat ayah saya GP hidup tanpa beban. Meski baginya penderitaan akibat kemiskinan, ketidakadilan, penyakit dan kesusahan hidup lainnya adalah hal yang absurd, ia bersikap pasrah, pantang mengemis dan mengusungkan diri pada para sahabatnya yang berpunya. Bahkan pernah, ketika di sebuah pertemuan kami melihat seorang taipan yang memanggil-manggil ayah, tiba2 secara diam-diam ayah mengajak saya pulang. “Kenapa?” Tanya saya.
“Saya alergi dengan itu orang. Gaya bicara, penampilannya dan tubuhnya yang berbau wangi artifisial, membuat perut saya mual.” Ayah tidak silau meski mungkin saja segepok uang sudah disiapkan untuknya.
Begitulah pembelajaran itu. Hidup pasrah meski kadang memedihkan dan harus menahan lapar serta dengan jalan pikiran nihilis, telah membuat saya bahagia dengan diri sendiri. Seperti ayah, jika kita jujur dan mau memberi, Dia Sang Maha Kasih selalu memberikan bantuan dengan jalanNya sendiri, meski itu absurd sekali pun.
Dalam hal pertemanan pun begitu, ada orang2 baik dan tulus yang mau menjadi temannya, ada yang melihat nama serta atribut penyerta duniawi yang menjadi pelengkap ragawi, ada yang tulus dan tidak, bahkan ada orang yang dimasukannya kerja dan diberinya uang, lalu menusuknya dari belakang. Ayah hanya bilang, orang-orang seperti itu akan menghadapi seleksi alam. Dia tidak bahagia dengan dirinya sendiri.
Dan saya, mengikuti beberapa langkah yang pernah dicontohkannya, tak mau pusing dengan urusan normatif yang harus penuh basa-basi, mau menjadi teman yang baik saya bersyukur, tidak juga tak apa, melenggang dengan kebahagiaan yang paling hakiki dan apa adanya itu lebih dari cukup. Tokh saat lahir kita sendiri, pergi dari bumi pun sendiri. Bahagia dengan diri sendiri itu lebih manusiawi.
Mari menulis..
(Fanny Jonathan Poyk)