SEMBARI kerja dan kuliah, Marguerite Higgins, bersemangat tetap ingin menjadi wartawati perang. Dia membujuk manajemen New York Herald Tribune untuk mengirimnya ke Eropa pada tahun 1944, setelah bekerja selama dua tahun.
Setelah ditempatkan di London dan Paris, dia dipindahkan ke Jerman pada Maret 1945. Kegerian pertama yang ia saksikan dengan mata dan kameranya yakni melihat pembebasan kamp konsentrasi Dachau pada April 1945 dan menerima pita kampanye Angkatan Darat AS atas bantuan selama penyerahan penjaga S.S.
Sejak saat itu karirnya sebagai jurnalis wanita peliput perang di medan konflik ia jalani terus. Pengadilan perang Nuremberg dan blockade Uni Soviet di Berlen. Pada tahun 1947, ia menjadi Kepala Biro Tribun di Berlin.
Sebelumnya Marguerite Higgins merasa jengkel diperlakukan tidak adil di kantornya. Koresponden kampus yang didambakan di kantor New York Herald Tribune telah diisi teman sekelasnya yang menyebelkan, Murray Morgan, lantaran alasan cocok buat pria. Padahal menurut professor, John Tebbel, isi otak Marguerite Higgins lebih cocok dengan kecantikan dan rambutnya pirang.
Ambisinya menjadi wartawai tangguh tak bisa diremehkan. Wanita harus lebih tangguh agar berhasil dalam jurnalisme, suatu bisnis yang didominasi laki-laki. “Pada dasarnya chauvisnitik. Itu tidak boleh terjadi dalam dunia jurnalisme.” (diramu dari berbagai sumber)