Oleh Rm. Yohanes Gani CM
“Maria adalah kaum anawim, maka dia berjuang untuk mengubah tatanan dunia yang tidak adil itu. Magnificat adalah ungkapan gagasan revolusi dalam masyarakat”
Hari minggu kemarin, Gereja merayakan hari raya Maria Diangkat ke Surga. Bacaan diambil dari Injil Lukas tentang pertemuan Maria dan Elizabet. Maria mengucapkan apa yang kita kenal sebagai Kidung Maria atau Magnificat. Banyak umat Katolik hafal Magnificat. Anggota Legio Maria pasti hafal, sebab Magnificat merupakan doa wajib para legioner.
Hampir semua orang Katolik membayangkan Maria sebagai sosok ibu yang lemah lembut. Jauh dari sikap revolusioner. Jadi tulisan ini pasti banyak yang tidak setuju. Tetapi saya meyakini bahwa dari Magnificat kita dapat melihat pandangan seorang revolusioner. Pandangan seorang kiri.
Sebelum berbicara lebih jauh maka perlu paham dulu siapakah yang saya anggap kaum kiri. Menurut Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul The Third Way, kaum kiri adalah kaum yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial. Tanpa persamaan derajat maka keadilan sosial tidak akan tercapai. Sebaliknya kaum kanan adalah kaum yang berusaha menekankan herarki dan melindungi ekonomi dan kultur mereka. Mereka berusaha mempertahankan kenikmatan dan kemampanan yang diperolehnya.
Menurut Rm. Mangunwijaya dalam buku Memuliakan Allah Mengangkat Manusia, ada beberapa istilah kaum menderita yaitu rasch (orang yang berkekurangan), dal (orang yang menangis, memelas, atau sakit) ebjon (pengemis atau orang yang kelaparan), ani, anaw, anawim dalam bentuk plural yaitu orang yang dimarginalkan, orang yang dimiskinkan, orang yang disingkirkan.
Maria adalah kaum anawim, maka dia berjuang untuk mengubah tatanan dunia yang tidak adil itu. Magnificat adalah ungkapan gagasan revolusi dalam masyarakat.
Revolusi yang dimaksud bukan untuk merebut kekuasaan melainkan pemuliaan (exalted). Orang yang berkuasa diturunkan-Nya dari takhta, yang hina dina diangkat-Nya (He has put down the mighty from their thrones, and has exalted the lowly). Dia menyerukan perubahan dalam tatanan masyarakat agar terjadi kesetaraan dan keadilan sosial seperti harapan orang kiri menurut Giddens.
Orang yang berkuasa sering tidak menghargai manusia sebagai manusia. Dengan kekayaan dan kekuasaannya mereka memandang rendah sesamanya yang miskin dan tidak berdaya. Mereka berusaha mempertahankan statusnya dengan berlindung di balik dalil agama, budaya, dan sebagainya.
Magnificat adalah seruan penjungkirbalikan tatanan yang dianggap wajar oleh dunia.
Inilah tantangan Gereja. Apakah Gereja akan berjuang seperti Maria atau sebaliknya mempertahankan statusnya yang menikmati kekuasaannya?
Maka orang Katolik jangan hanya puas hafal Magnificat melainkan juga perlu mewujudkan semangat revolusi itu.
Membongkar segala penindasan dan berjuang bersama kaum marginal agar martabat mereka dipulihkan.
Paus Yohanes II dalam kotbahnya bulan Mei 1980 mengatakan “kata-kata Maria mengajarkan kepada kita bahwa dunia yang dikehendaki Allah bukanlah dunia bagi segelintir orang yang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, sementara ada jumlah yang jauh lebih besar orang yang mengalami kesengsaraan dan kekurangan serta meninggal karena kelaparan,”