Seide.id -Dunsanak masih ada yang ingat dengan film “Mutiny on the Bounty”.
Bagi yang lupa atau malah gak pernah nonton, baiklah aku ingatkan kembali.
Mutiny on the Bounty diangkat dari novel karya Charles Nordhof dan James Norman Hall.
Pernah beberapa kali dibuat film. Th ’35 diperankan oleh Clark Gabke, th ’62 diperankan oleh Marlon Brando dan yang terbaru diperankan kalau tak salah oleh Pierce Brosnan. Tapi yang paling berkesan bagiku adalah yang diperankan oleh: Marlon Brando, Richard Harris, Trevor Howard dan Tarita Teriipaia.
Maklum, Marlon Brando lagi ngganteng-nggantengnya…
Sebuah kapal Inggris diperintahkan oleh kerajaan melakukan ekspedisi ke Jamaika untuk menjajaki kemungkinan membudidayakan buah sukun. Sukun yang setelah diolah sangat mirip dengan roti dianggap makanan alternatif, yang relatif murah dan enak untuk konsumsi para budak di setiap negara jajahan Inggris.
Di perjalanan, para perwira yang menjadi pemimpin ekpedisi berselisih faham tentang rute yang akan ditempuh. Aku selalu gumun dan tekagum-kagum kepada keberanian orang dulu. Bayangkan dgn perbekalan seadanya dan tak mudah diprediksi, mereka melakukan penjalajahan. Waktu itu mereka harus berlayar jauh sampai ke selatan bumi di ujung selatan benua Amerika (sekarang Argentina atau Chili?). Waktu itu manusia pastilah belum berfikir untuk ‘mengorek’ tanah negara Panama menjadi terusan. Ratusan tahun kemudian, dengan teknologi modern, barulah manusia berhasil membuat sodetan di tanah Panama. Terusan panama menjadi terusan yang sangat penting karena berhasil ‘memendekkan’ ribuan kilometer jarak yang harus ditempuh jika dibandingkan pelayaran yang harus menyusuri Cape Horn di selatan benua Amerika. Dan tentu saja sekarang menjadi devisa yag ‘tak main-main’ bagi Panama.
Kembali ke Mutiny. Perbekalan yang semakin menipis. Salah perhitungan jarak tempuh dan anak buah kapal yang mulai terpecah dan berkelahi diantara mereka karena stres di pelayaran. Salah seorang perwira yang ‘kecantol’ gadis pasific selatan, anak kepala suku yg cantik. Semua adalah ‘syarat’ yang sangat langkap untuk menjadi cerita menarik.
Pohon Sukun bisa tumbuh di hampir seluruh negri beriklim tropis. Pada awalnya, pohon sukun hanya dijumpai di negri-negri Pasifik Selatan. Orang Portugis dan Inggrislah yang telah bejasa, lewat ekspedisi atau ‘tak sengaja’ terbawa saat mereka melakukan penjalajahan ke negri-negri di lautan Pasifik, India, Pilipina, Papua, Maluku dan sampai di pulau Jawa. Jadi sebetulnya, meski Sukun adalah buah dari pohon tropis, tapi justru orang-orang Eropa lah yang mengenalkan ‘Buah Roti itu kepada kita.
Sukun, masih berkerabat dengan Nangka, Kluwih (Timbul) dan Cempedak. Orang Inggris menyebut Jack Fruit untuk Nangka dan Bread Fruit untuk Sukun. Entahlah, adakah mereka juga mengenal Kluwih (Timbul) dan Cempedak?. Seperti Sukun, Kluwih (Timbul) sudah jarang terlihat. Buahnya mirip nangka. Tapi yang aku tau, kluwih muda sering dibuat sayur lodeh. Aku terus terang tak tau apakah Kluwih jika sudah matang rasanya manis juga seperti nangka?.
Cempedak juga jarang ditemui. Di Sumatra, biasanya ‘muncul’ di pasaran setelah musim Durian dan Duku selesai. Rasanya lebih asooy drpd nangka, pun baunya. Harum Cempedak cuma bisa ‘dikalahkan’ oleh Durian. Jika orang Inggris menyebut Sukun itu Bread Fruit, Nangka itu Jack Fruit, mungkin Cempedak akan mereka sebut: Parfume Fruit, karena harum.
Beberapa hari belakangan ini, tukang sayur langganan kami sering membawa Sukun. Mungkin sedang musim.
Awalnya Sukun kami goreng. Tetapi menurut si mas tukang sayur, dikukus pun tak kalah nikmat. Diiris agak tebal, dikukus, dicocol atau ditaburi kelapa parut yang sudah dicampur dengan gula Jawa, enak,
Yang belum kami coba dikolak,…pasti juga hmmm,…assoyy…
(Aries Tanjung)