“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfa’at bagi manusia lain”
Pada awal tahun ‘70an Ali Sadikin membuat Gelanggang Remaja di seluruh 5 wilayah Jakarta.
Aku malahan pernah melawat bersama teman-teman (jangan kaget) petinju dari sasana di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan ke-Gelanggang Remaja Jakarta Utara di daerah sekitar Tanjung Priok dan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat di (namanya lucu) Planet Senen.
2 wilayah lain yaitu Gelanggang Remaja Jakarta Barat dan Jakarta Timur. Sekarang, semua Gelanggang sudah tak ada, hanya tinggal Gelanggang Remaja Jakarta Selatan yang masih bertahan sampai hari ini.
Aku menduga, 4 Gelanggang Remaja yang ‘terlantar’ itu, karena para pemuda di sekitar wilayah itu hampir tak memberdayakan kegiatan kesenian. Karena gedung-gedung itu membutuhkan pengelolaan, pemeliharaan dll, dsbg, maka dengan mudah, gedung itu ‘berubah’ dari bangunan yang ‘tak menguntungkan’ secara finansial, sampai menjadi kawasan bisnis.
Dulu, Gelanggang Remaja Jakarta Selatan pun konon kerap ‘ditaksir’ oleh para pebisnis, karena wilayah itu memang strategis dan menggiurkan. Tapi karena para seniman yang berkegiatan di wilayah itu sangat militan, maka Gelanggang itu tetap bertahan sebagai tempat berkesenian hingga hari ini.
Lalu ada juga wadah kegiatan yang bernama Karang Taruna. Gagasannya, kurang-lebih sama dengan Gelanggang Remaja. Yaitu kegiatan berkesenian bagi remaja, di tingkat RT, RW sampai kelurahan.
Menurut Arswendo Atmowiloto atau mas Wendo, remaja kurang mendapat perhatian, kepercayaan dan ‘porsi’ yang wajar menurut usianya. Semua fasilitas, baik fisik mau pun (apalagi) penamaan itu cuma sebagai formalitas saja. Bahwa seolah-olah para orang tua atau orang-orang yang secara formal berada dalam jajaran jabatan publik itu: “menyelenggarakan sesuatu bagi remaja”. Sebagaimana ‘proyek formalitas’, akhirnya semua kegiatan itu tak bisa bertahan lama.
Remaja, terlanjur ‘diberi’ atribut yang berkonotasi negatif. Misalnya: kenakalan remaja, perkelahian remaja atau tawuran antar remaja. Media (secara bisnis) tak pernah memfokuskan diri untuk meraih keuntungan dari remaja, terutama remaja lelaki.
Menurut mas Wendo para pebisnis (dulu, mungkin) menyimpulkan bahwa yang membeli suatu produk (apa pun itu) adalah para orangtua (orang dewasa) dan anak-anak.
Orangtua, tentu karena sudah punya penghasilan, anak-anak diberi uang oleh orangtuanya untuk membeli sesuatu. Nah remaja (terutama lelaki) seandainya pun diberi uang oleh orgtuanya, mereka akan memilih membeli rokok ketimbang membeli majalah atau apalagi novel. Remaja perempuan, lebih mungkin ‘diharapkan’ membeli produk atau majalah.
Itulah (mungkin) yang menggelisahkan mas Wendo. Maka ketika dia berhasil mengumpulkan beberapa penulis remaja yang bagus, dia seperti terlonjak gembira.
Para penulis itu bukan cuma bagus, tapi juga mempunyai cara berfikir cerdas, positif dan dewasa, jauh melampaui usianya. Mereka rata-rata berusia SMA, bahkan SMP!.
Aji (Agung Setiaji Aryadipayana), Jay Bimo, Leila S Chudori, Naniek Loekito, Yoppy OL, Katyusha, Hilman Hariwaijaya (‘bapak’nya lupus) dan Radhar Panca Dahana malah masih SMP.
Lalu, seperti ingin membuktikan bahwa julukan “kenakalan remaja” itu adalah salah, maka mas Wendo membuat apa yang dinamakan : Koma, koran remaja.
Koma, bukan retorika. Koma adalah mingguan berformat koran yang menjadi sisipan di majalah Hai. Koma, betul-betul dikelola oleh para remaja SMA. Mekanisme Koma secara organisasi dibuat sedekat mungkin mirip dengan ‘koran sungguhan’.
Ada Pemimpin Redaksi – kalau tak salah bergantian antara Mustari (aku lupa nama belakangnya) dan Jay Bimo. Ada Redaktur Pelaksana (Tubagus Adhi SP). Para redaktur dan reporter: Eddy Zon (redaktur artistik), Abba Mardjani, Eki Thadan, aku (artistik, ilustrator – sesekali menulis ramalan bintang – hehe), Ibrahim, Ernawan, Denny (lupa nama belakangnya). Kontributor: Yoyik Lembayung, dll, dst.
Di Koma, kami belajar bagaimana menjadi pemimpin. Bagaimana meracik formula, sebuah koran. Bagaimana berdebat dalam sebuah rapat redaksi dengan alasan-alasan argumentatif. Bagaimana melakukan persuasi kepada redaktur atau pemimpin redaksi jika laporan yang akan kita buat disetujui oleh sidang rapat, setelah perdebatan-perdebatan dan penolakan-penolakan. Bagaimana memilah tulisan dari luar redaksi (kontributor) termasuk berapa nominal honorarium yang layak diberikan kepada kontributor pemula dan kontributor tetap. Perlukah mendelegasikan kontributor untuk meliput seandainya reporter kita tak bisa menjangkau lokasi atau nara sumber,…dll, dst, dsbg.
Sebuah pelajaran yang sangat-sangat berharga. Sungguh suatu cara melewatkan usia remaja dengan cara yang sangat bermutu!.
Pelukis Ivanovich Agusta pernah mencengangkan dunia seni rupa kita. Karena gaya, tema dan gagasan lukisan-lukisannya memang sangat mencengangkan di usianya yang baru 11-12 tahun. Usia itu bahkan bisa dibilang anak-anak, tapi ada juga pendapat yang mengatakan usia seperti itu bisa disebut: pra-remaja.
Pelukis Lini, di usia 11-12 pun sempat jadi pembicaraan para kritikus karena warna-warna ‘ajaib’ pada lukisan-lukisannya. Seorang Afandi, bahkan sempat berujar: “Saya iri dengan warna, kejujuran dan terutama spontanitas Lini ketika melukis. Saya ingin ‘kembali’ melukis seperti itu, tapi mana mungkin. Rasanya semua pelukis ingin melukis dgn ‘gairah’ seperti itu.
Ivanovich Agusta, ketika dewasa menjadi Insinyur (kalau tak salah) menjadi pemerhati lingkungan. Lini, mengaku pernah menangis, karena setelah dewasa, dia merasa tak lagi bisa melukis.
Usia remaja berlangsung cepat. Durasinya pun singkat. Banyak di antara kami yang tetap menekuni dunia tulis-menulis dan dunia jurnalistik sampai dewasa bahkan menjadi jalan hidup. Tapi banyak juga yang tak lagi menekuni. Tentu dengan alasan masing-masing…
(Aries Tanjung)