Seide.id – Arswendo Atmowiloto, biasa kami panggil mas Wendo, dan mas Kochis, mengidolakan Basiyo. Pelawak yang mungkin tak terlalu kondang di Jakarta. Banyak yang salah menyebut (bahkan wartawan) Basiyo dengan Bagio.
Salah-dua dagelan Basiyo yang aku ingat sampek sekarang: Seseorang berkunjung ke rumah temannya. Ketika pulang, baru jalan beberapa langkah dari rumah temannya, dia balik lagi, berkata: “kamu lihat gak, uangku jatuh di rumahmu?”
“Nggak. Emang uangmu (yang jatuh itu) berapa?”
“Yaa,…seadanya”
“Woo,…bilang aja kamu minta disangoni”.
Satu lagi: Seorang yang hidupnya pas-pasan, suatu hari berkhayal: “Kalok aku jadi orang kaya. Aku mau beli gereh (ikan asin murahan) yg banyak!”
“Terus”
“Dibakar di halaman rumah. Ben ambune, sreeeng… menenuhi seluruh kampung!”
“Woo.., dasar kere. Sudah jadi orang kaya…, menghayalnya yo, tetep kere. Orang kaya kok mbakar gereh..”
Suatu hari mas Wendo meminta mas Kochis memperbaiki barang elektroniknya. Mas Kochis ini memang multi talenta. Dia dulu adalah pemain musik. Bandnya bernama sangar: Vampire, konon terkenal di Solo. Dia ilustrator spesialis menggambar pesawat terbang, tank, senjata, perabotan militer dan alat-alat yang terbuat dari logam.
Karena mengendarai vespa, maka aku memangku barang elektronik yang akan diperbaiki itu. Biasanya mas Kochis mengutak-atik apa saja sambil mendengarkan kaset dagelan Basiyo koleksinya yang berjumlah puluhan itu.
“Tadinya ada 100 lebih, tapi banyak dipinjem temen gak balik”
“Kalok semua udah didengerin?” tanyaku.
“Yaa.., diulang lagi.., yang sudah rada lupa. ‘Kan koleksiku banyak. Lagian.., yang sudah berulang kali didenger pun masih tetap lucu”…
Rumah kost-nya di pejompongan itu, halamannya kecil, rumputnya tinggi tak beraturan, rungsep, pagar kawatnya, meski nampak kokoh, tapi sekarat, berdebu dan berkarat. Catnya mengelupas di sana-sini…’E-ek kucing atau anjing, kering dan berserak di sana-sini.
Ketika masuk, aku langsung komentar: “Busyet banyak banget, Koh” (aku memang memanggilnya Koh)
“Ho-oh.., gak tau nih kenapa kucing-kucing dan anjing-anjing di sekitar sini seneng banget e-ek di halaman rumahku”
“Bukaaan.., maksudku barang-barang elektronik ini banyak banget, punya siapa saja.Dan kapan mau diperbaiki. Sementara menerima barang elektronik punya mas Wendo?”
“Haha…aku kira e-ek kucing dan anjing. Yaah.., tape recorder, kipas angin dan lain-lain ini sih aku kerjakan sesempatnya. Hla wong gratis kok minta buru-buru..”
Begitulah, aku menginap di rumah mas Kochis. Mendengarkan dagelan Basiyo berbahasa Jawa.
Esoknya, kami datang ke kantor agak siang. Ketika menungu di depan lift, menjelang pintu terbuka, pak J.O (Jakob Oetama) muncul. Campuran antara rasa sungkan, aura wibawa, kharisma dan takut ditanya-tanya membuat kami sebetulnya jika bisa menghindar, kami akan mengindar, tapi kami sudah ‘terjebak’.., harus berada dalam satu lift bersama beliau. Hari sudah jam 11 siang. Jarak Pejompongan ke Paal Merah.., aah.., celaka. Semoga beliau tak bertanya-tanya.
Di dalam lift suasana hening beberapa detik. Mas Kochis nampak gelisah, tegang. Tombol lift ke lantai 4 kami pencet. “Tiga mas”… kata pak J.O.
Hening lagi. Rasanya lift ini lambaaat sekali bergerak naik. Pak J.O melirik jam di tangannya. Bertanya kpd kami: “Baru datang mas?”
“Ee…I…iya, pak”.
Hening.
“Rumahnya di mana?”
“Pejompongan, pak”.
“Jauh ya..?!”
Aku hampir saja tertawa.., tapi mana berani. Untung saja bisa aku tahan.
Begitu beliau ke luar dari lift di lantai 3, barulah kami bisa bernafas lega, seperti terbebas dari beban yang berat menekan. Kami terbahak-bahak. Mas Wendo yang baru ke luar dari toilet, terheran-heran melihat kami ke luar dari lift terbahak-bahak.
“Woi.., podo ngopo ki.., keluar dari lift, cekakakan?, ..ketemu cewek ya? Podo mangan yuuh?”
“Sarapan mas?”
“Ndlogok.., sarapan..? Sudah jam berapa ini?. Makan siang, tauuk!”
“Mau makan di Ndlogok Plaza mas, jauh bangeeet”
“Woooi.., huajinguk-iii.., malah plesetan. Hayoh, hayoh.., ntar garang asem bu Solo keburu habis!..”
(Aries Tanjung)