Terlalu sering berita duka saya baca di medsos, sedihkah saya? Tergantung.
Mungkin akan sedih jika menyangkut kedekatan. Di luar itu, yang tersimpan dalam hati adalah sejauh mana amal baik yang meninggal, paling tidak terhadap lingkungan dekat. Lantas menyisakan bisikan hati, ‘sebentar lagi menyusul dirimu, bukankah usiamu sudah cukup tua?’
Kemarin siang sekitar pukul 11.30 saya menerima pesan WA dari dramawan Achmad Zainuri, bunyinya kurang lebih begini : Kenangan terakhir, pada acara di mana Pak Amang salah satu pembicara.
Di atas pesan itu terpose foto tiga orang, dari kanan ke kiri: Musisi Bambang Jon Sudjono, jurnalis dan sutradara film dokumenter Hari Nugroho/#Harnug dan Achmad Zainuri.
Pesan saya jawab: Maksudnya apa, Pak?
Harnug meninggal dunia tadi pagi di salah satu hotel di Tuban dalam rangka pembuatan film dokumenter, begitu penjelasan Nuri.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Saya kenal Har Nug sudah cukup lama, karena sama2 pernah menjadi bagian dari komunitas Balai Pemuda di mana di situ terdapat DKS (Dewan Kesenian Surabaya) dan Bengkel Muda Surabaya.
Sebagai aktivis BMS, Har Nug akrab dengan dunia teater. Dan itu dibuktikannya dalam konteks kemiripan bahwa saat tabloid ‘Jawa Anyar’ (grup Jawa Pos) mengadakan Lomba Deklamasi Geguritan se-Jawa pada tahun 1993 bekerja-sama dengan PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), Harnug meraih Juara II.
Saya baru tahu kalau Harnug juga penyair yang puisi-puisinya sangat indah, sublim, kontemplatif — menjadi bagian tulisan S Jai yang komprehensif dan ciamik di media online #ngopibareng yang saya baca kemarin.
Membaca puisi-puisi Harnug pada tulisan itu saya “agak minder” jika dibandingkan puisi2 saya yang naratif-reportatif — cenderung “polos”.
Selebihnya dari tulisan-tulisan Zed Abidien, saya menjadi tahu bahwa Harnug adalah aktivis AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan Surabaya Press Club yang digerakkan Zed dkk yang mantan wartawan Tempo itu, seputar tahun 1990-an.
Dari postingan2 Harnug di fesbuk, saya pun lantas tahu pilihan politiknya, lebih2 saat pilpres kemarin. Tetapi ketika bertemu dengan teman-teman sesama seniman yang beda pilihan politik, Harnug tidak menunjukkan perubahan sikap ‘friendship’-nya, tetap guyon sebagaimana biasanya, tetap hangat — setidaknya itu saya ketahui saat peringatan “BMS Reborn” beberapa waktu lalu.
Dari penjelasan saya di atas, saya rasa teman2 pun tahu bagaimana kira2 visi dan kualitas film-film yang diproduksi Harnug, apalagi setelah Harnug ikut terlibat dalam Institut Soekarno yang digerakkan jurnalis dan sejarawan Peter Apollonius Rohi yang antara lain memproduksi ‘gaco’ video dokumenter tentang sejarah kelahiran Bung Karno.
Ada satu video yang dihasilkan channel Videonesia di YouTube dimana Peter A. Rohi tandem dengan Harnug mewawancarai Pak Achadi mantan Menteri Koperasi di zaman pemerintahan Bung Karno, begitu menarik perhatian saya yang intinya bagaimana kekuatan imperialisme-new kolonialisme menjebak pemimpin kharismatik ini.
Belakangan saya dekat dengan Harnug yang sudah puluhan tahun hijrah ke Jakarta, setelah saya menurunkan serial tulisan saya di fesbuk tentang persinggungan saya dengan Pak Peter.
Ketika saya menurunkan beberapa puisi tentang tempat2 di Surabaya (Surabaya Kilometer Nol, Tunjungan, Jembatan Merah, Pasar Turi dll) di fesbuk yang saya ‘share’ dari konten channel saya di YouTube, Harnug akan membantu dengan visualisasi yang lebih natural dan puitis. “Tolong saya dikirimi teks puisi-puisi tersebut, Pak, ” harap Harnug.
Namun entah karena saya sibuk atau dasar saya yang rada ‘lelet’, teks puisi sebanyak lebih kurang 15 judul itu tidak juga saya kirim ke Harnug, sampai saya bertemu dengan sosok kelahiran tahun 1971 ini pada peluncuran buku tribute to Peter A. Rohi ‘Jurnalis Pejuang – Pejuang Jurnalis’ di Warung Mbah Cokro Jl Raya Prapen 22,Surabaya, pada 14 November lalu.
Di situ Harnug mengatakan, “Saya masih punya kesanggupan untuk memvisualisasi puisi-puisi Surabaya karya Pak Amang lho, ” katanya, seakan mengingatkan saya untuk segera mengirim teks2 puisi sebagaimana permohonannya.
Kurang lebih dua minggu sebelum acara di Warung Mbah Cokro itu, saya ketamuan Yuyun Zurqon Ketua Ikatan Keluarga Alumni Stikosa/AWS yang menerbitkan buku tribute to Peter A. Rohi dan Evan Siahaan ketua panitia acara di Warung Mbah Cokro tersebut. Mereka meminta saya untuk menjadi salah satu pembicara.
Pada kesempatan itu saya katakan bahwa tulisan saya tentang persinggungan saya dengan Peter A. Rohi yang serial di fesbuk akan saya bukukan, di mana saya rencanakan selain dari keluarga Pak Peter, saya berharap Hari Nugroho mau memberi kata pengantar buku saya ini.
Ketika bertemu di Warung Mbah Cokro itu, permintaan tersebut saya sampaikan, dan Harnug menjawab:” Siap, Pak Amang! “.
Hari Sabtu tanggal 28 November lalu, saya baca postingan Harnug di fesbuk kalau dia dan aktivis Gus Durian Jawa Timur Yuska Harimurti sedang berada di Tuban untuk pembuatan film dokumenter tentang Herman Hendrawan dan Bimo aktivis yang hilang sejak 1998.
Seperti biasanya tulisan-tulisan postingan Harnug terstruktur rapi, hangat, puitis. Terkadang ada bumbu humor. Namun rasanya saya tak menangkap kesan humor pada postingan kali ini.
Sebagaimana postingan obituari sejumlah teman di medsos, saat dibangunkan Yuska, Minggu pagi kemarin, di hotel Fave, Tuban, tempat mereka menginap — Harnug telah meninggalkan kita semua.
Dan, saat saya mencoba — maaf — membuka ‘wall’ fesbuknya untuk melengkapi postingan saya ini, di situ air muka saya yang datar mulai berubah, mata saya berkaca-kaca. Bejibun tulisan obituari tentang sosok energik ini memenuhi ‘wall’ tersebut.
Semoga mendapat tempat indah di sisi Sang Khaliq.