Seide.id – Seorang teman sejawat dokter, yang berpaham fatalistik, bilang begini: Capek jadi Tuhan di Indonesia, karena apa saja yang disalahkan Tuhan. Terserang jantung, sudah kehendak Tuhan. Mati muda, kehendak Tuhan.
Begitu memang bahasa pihak medik. Harapan hidup rakyat Zimbabwe sekarang di bawah 50 tahun. Artinya umur rata-rata hidup mereka hanya bertahan jauh di bawah umur rata-rata orang Amerika (life expectancy AS 80 tahun).
Apakah Tuhan lebih sayang orang Amerika dan tidak sayang orang Zimbabwe?
Bahasa kedokteran tidak berpikir begitu. Teknologi dan Ilmu kedokteran yang menambah panjang usia hidup manusia. Orang papa yang gagal tertolong peralatan canggih untuk mempertahankan nyawanya, lalu meninggal karena tak punya uang membayar pertolongan cangggih, kematiannya kehendak siapakah?
Kasus yang sama beratnya, dan bisa membayar ongkos untuk menyelamatkan nyawanya, masih bisa mengulur umurnya, dan si kaya masih bisa bertahan hidup, kehendak siapakah?
Orang yang tahu bahwa melakukan sex dengan pasangan positif HIV bakal kena AIDS, dan tetap melakukan, lalu kena AIDS, dunia medik berpikir itu bukan kehendak Tuhan. Begitu juga kalau orang terserang jantung, stroke, bahkan kecelakaan terantisipasikan, secara statistik, bukanlah kehendak Yang Maha.
Serangan jantung koroner secara medik bisa dicegah, dan kita bisa menggagalkannya. Begitu juga dengan serangan stroke, gagal ginjal, dan semua penyakit, termasuk kanker. Atas dasar nalar medik itulah maka seturut logika mediknya, kemunculan semua penyakit nalarnya bukanlah kehendak Yang Di Atas, melainkan lantaran secara medik manusia tidak memanfaatkan isi kepalanya. Bukan jarang lebih mendahulukan emosinya.
Tahu gemuk itu berisiko mengundang banyak penyakit, tetap rakus, makan enak mengikuti emosi.
Berkendara dengan kecepatan tinggi, tentu lebih berisiko mengalami kecelakaan, dibanding menyetir lebih sabar. Kecelakaan yang terjadi, dan kematian yang menyertainya, apakah masih dianggap kehendak Yang Di Atas.
Yang berpikir begitu, bilang orang sedang duduk di rumah saja pun bisa saja mati, tidak sedang berpikir seperti nalar medik.
Ada beberapa penyebab lain mengapa orang mati mendadak sekali pun sedang tidak mengebut di jalan raya, maka tidak boleh memetik alasan, ngebut dan tidak ngebut, kalau mau mati bisa di mana saja, lalu memilih mengebut saja.
Orang berpikiran fatalistik taat pada berpikir bahwa segala hal ihwal yang tetek bengek itu bukanlah urursan Tuhan. Di nalar medik, manusia sudah diberikan otak untuk berpikir, dan menggunakan pikirannya untuk sebaik-baik menjaga badan dan kesehatannya. Ayat kitab suci mana pun menulis keimanan dikatakan tinggi kalau manusia mau memelihara kesehatannya.
Jadi kalau seseorang sampai jatuh sakit, terserang penyakit berat, dan penyakit apa pun yang sebetulnya bisa dicegah dan tidak perlu terjadi, sesungguhnyalah itu kehendaknya sendiri. Nasib kesehatan dan akibat yang ditimbulkan akibat melalaikannya, ada pada tangan manusia sendiri.
Kuncinya pada sikap berikhtiar.
Segala sesuatu harus dan wajib diikhtiarkan sekuat kemampuan rasional otak kita menemukan solusi terbaik. Kalau setelah ikhtiar sampai optimal dan solusi tidak membuahkan hasil, itu baru disimpulkan berada di luar kuasa manusia. Di situ posisi ajal dan maut bermuara.
Orang yang sudah tahu merokok itu berisiko kena sejumlah penyakit, masih nekat merokok, orang ini yang dilabel sedang menggali kuburnya.
Juga yang tahu obesitas dan rakus makan berisiko kena penyakit metabolik, sedang bunuh diri dengan sendok garpunya. Karena masih secara statistik, mereka yang hidupnya tertib sesuai dengan kaidah ilmu kesehatan, yang menjaga berat badannya tidak berlebih, yang cukup bergerak badan, yang mengendalikan risiko penyakitnya, memetik umur yang lebih panjang dibanding yang hidupnya mengabaikan cara hidup sehatnya.
Itu maka kesehatan dan penyakit ada di tangan kita sendiri. Juga kalau sampai mati muda dan dunia kedokteran menyebutnya premature death.
Kita membaca Sydney Resolution (2008) kalau manusia di dunia tetap dengan gaya hidup salahnya, maka 400 juta orang akan mati prematur di awal Abad ini. Pasti kenyataan ini bukanlah kehendak Yang Maha Pengasih.
Bahasa statistik kedokteran menyebutkan, kelompok umur 20-39 tahun yang kegemukan, kehilangan 8,4 tahun hidupnya. Mereka menghabiskan 18,8 tahun hidup dengan kesehatan buruk, penyakit yang diciptakannya sendiri.
Mari kita renungkan kembali semua ini.
Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul