Matinya Kepakaran Denny Indrayana

Denny Indrayana - SBY

Yang paling fatal dan paling tidak intelek dari Denny Indrayana adalah bantahan bahwa Anies Baswedan bukan “bapak politik identitas”. “Bagi saya itu adalah kampanye buzzeRp,” beber Denny

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

BUKU The Death of Expertise atau matinya kepakaran  karya Tom Nichols (2017) menemukan bentuknya dalam dunia nyata di Indonesia lewat Denny Indrayana, seorang guru besar hukum, lulusan Universitas Gajah Mada dan universitas di Australia – dengan sederet gelar dan predikat yang menyertainya.

Membanggakan diri sebagai guru besar dan lulusan universitas tak menjamin integritas kepakarannya, karena dia hanya salahsatu dari begitu banyak pakar yang bisa dikritisi oleh pakar lain. Di setiap fakultas hukum di universitas negeri maupun swasta di Indonesia dijaga oleh guru besar hukum dan pakar tata negara. Di seluruh Indonesia ada 6.000 guru besar, Denny Indrayana hanya salahsatu di antaranya.

Matinya kepakaran menjadi problem serius secara global, akibat tsunami infomasi, melimpahnya banjir data fakta, sehingga setiap orang (seolah) menjadi pakar.

Di Indonesia khususnya – didukung oleh hak kebebasan menyatakan pendapat –  siapa saja bisa bicara sekencangnya,  meski pengetahuannya terbatas saja, karena melihat masalah sebatas kepentingan dan sudut pandangnya semata – hasil mengutip ocehen mereka yang dianggap pakar di media, khususnya teve dan koran.

Namun matinya kepakaran juga akibat oleh kalangan pakar dan komunitas cendekiawan sendiri, para akademisi yang memiliki deretan gelar, nyata nyata pakar  –  yang luntur integritasnya, sengaja menggadaikan gelar dan pengetahuannya –  demi jabatan dan posisi di dunia politik.

Denny Indrayana  menyandang gelar Prof. H., S.H., LL.M., Ph.D di depan dan belakang namanya. Dia alumni Universitas Gadjah Mada (1995) Universitas Minnesota (1997) dan Universitas Melbourne (2005). Baru baru ini,  dengan menyebut diri sebagai “pakar hukum tata negara”, Denny mengkritik ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) yang diatur dalam pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Padahal dulu dia menikmati presidential threshold, melalui partai demokrat yang bertahan di dua periode.

Denny juga melempar isu, ada kelompok yang bersiap menggelar Sidang Istimewa MPR, untuk memperpanjang jabatan Jokowi. Namun, dia tak menyebut identitas politikus yang dimaksud. Sekadar bikin gaduh saja, tuding wakil MPR RI Asrul Sani.

Memberikan pernyataan yang meluruskan bahwa dia “minta izin” seniornya, Prof.Dr. Mahfud MD, karena mendukung Anies Baswedan untuk Pilpres 2024, baru baru ini, Denny Indrayana, menyatakan bahwa dia mendukung Anies sebagai calon presiden karena dia mengenalnya sebagai sesama alumni Univ. Gajah Mada. Di matanya Anies Baswedan adalah sosok anti korupsi dan dia membanggakan diri sebagai aktifis anti korupsi.

Denny Indrayana mengabaikan fakta bahwa dia pernah berada di perahu pemerintahan yang didukung oleh para koruptor yang terbukti valid korupsinya, karena tertangkap oleh KPK, diadili dan masuk penjara. Denny adalah Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan sebelumnya Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN – di era Susilo Bambang Yudhoyono, Ketum Partai Demokrat yang pengurus terasnya masuk bui karena korupsi.

Muhammad Nazarudin,  Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Hartarti Murdaya, Andi Malarangeng, Jero Wacik, hingga Sutan Batugana, notabene elite partai Demokrat semua masuk penjara karena kasus korupsi. Belum lagi nama nama yang jarang terdengar di media, seperti Amin Santono, Amrun Daulay, Djufri,  mantan anggota DPR RI.  

Belum lagi sejumlah kepala daerah yang terus tertangkap di era Jokowi, yang resmi tercatat sebagai kader Partai Demokrat, seperti Agusrin M. Najamudin (Gubernur Bengkulu), Murman Effendi (bupati Seluma, Bengkulu), Abdul Fattah (bupati Batanghari, Jambi).  Paling mutakhir Gubernur Papua,  Lukas Enembe, yang sudah ditahan dan sedang diproses oleh KPK.

Jargon partai “katakan tidak pada korupsi” menjadi olok olok karena justru mereka pelakunya.

Jangan lupakan, Nur Afifah Balqis perempuan berjilbab yang tampil snob dan modis, dengan gelar “koruptor termuda” yakni masih berusia 24 tahun. Dia merupakan Bendaharawan DPC Partai Demokrat Balikpapan, Kalimantan Timur.

Bagaimana Denny Indrayana menuding, kecewa pada pemerintahan Jokowi karena dianggap melemahkan KPK, padahal para koruptor kakap yang tertangkap justru di era dia menjabat sebagai wakil menteri hukumnya.

BAHKAN seandainya klaimnya benar, dukungan kepada Anies karena seniornya di Univ Gajah Mada itu, tidak korupsi – maka “tidak korupsi “ bukan satu satunya syarat seseorang jadi presiden. Sebab SBY juga tidak korupsi, Megawati tidak korupsi, Gus Dur tidak korupsi, BJ Habibie tidak korupsi.

Boleh jadi Anies Baswedan semasa memimpin Jakarta tidak korupsi. Melainkan para pembantu dan orang orangnya yang “kelebihan bayar” untuk sejumlah proyek yang tidak bermanfaat bagi warga alias unfaedah. Dan Anies mendapat perlindungan dari mantan Wakil KPK dan penyidik senior KPK, sehingga tahu bagaimana korupsi tanpa terendus dan lolos dari tangkapan KPK.

Boleh saja membanggakan Anies Baswedan tidak korupsi. Akan tetapi dia juga tidak membangun, tidak melakukan terobosan, tidak membereskan masalah di wilayah yang selama ini menjadi kepedulian masyarakat. Tidak melakukan apa apa, keliling keliling saja, pamer tampang, mejeng, sembari mengolah kata dan menghamburkan APBD (kelak APBN!).

Terbukti, lima tahun masalah banjir ibukota yang ditangani ala kadarnya, diselesaikan oleh penjabat yang baru bekerja beberapa bulan saja.

Dengan segala hormat, Profesor Doktor BJ Habibie tidak korupsi, Gus Dur juga tidak korupsi – tudingan menerima gratifikasinya mengada ada – Megawati tidak korupsi,  namun mereka tak bertahan sampai lima tahun di istana, tidak karena tidak korupsi.  Karena syarat menjadi presiden tidak semata mata itu.

Suharto yang ditasbihkan sebagai salahsatu kepala negara terkorup di dunia mampu bertahan selama 32 tahun, sebagaimana SBY – dimana dia menjadi wakil menterinya –  bertahan selama 10 tahun (2004-2014),  lengkap dengan segala kasus proyek mangkraknya.  

Yang paling fatal dan paling tidak intelek dari Denny Indrayana adalah bantahan bahwa Anies Baswedan bukan “bapak politik identitas”. “Bagi saya itu adalah kampanye buzzeRp,” beber Denny.  

Dia menutup fakta bahwa Anies naik mendapatkan jabatan gubernur akibat pembelahan identitas warga ibukota yang berdampak pada Indonesia –  yang digaungkan pendukungnya, dan terus menjadi luka politik hingga saat ini, dan dia menyederhanakan sebagai “kampanye buzzerRp”.

Boleh jadi Anies Baswedan bukan pelaku politik identitas, tapi menikmati dukungan kaum radikal, penyebar politik identitas – dan Anies juga membiarkannya – sebagaimana  SBY dulu ikut “menikmati” hasil korupsi para pengurus teras partainya.  ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.