Jadi ingat judul hit 1970-an dari Favorite’s Group, “Ingin Marah Silahkan”… Marah itu tidak dilarang, yang penting bicara sambil berbisik dan tidak membuka aib.
Dalam sikon apapun, marah itu dasarnya kudu jelas dan terkendali. Kenyataannya, tidak semua orang mampu mengelola emosinya dengan baik.
Ada orang yang hobi marah, emosian, tidak mau dimarahi meski bersalah, bahkan ada juga yang benci dan dendam karena dimarahi di depan orang lain.
Marah yang tidak terkendali itu membuat gelap mata. Bagai badai yang menyapu dan memporakporandakan yang berada di depannya.
Ada orang yang marah secara kasar, merusak barang di dekatnya, mengajak berkelahi, tapi ada juga orang yang marah dengan memilih diam, atau mengurung diri di kamar.
Saat melampiaskan marah, emosi ini, seakan beban hati tersalurkan. Dada terasa nyaman dan lega. Kita mampu menunjukkan eksistensi diri, bahwa kita ini hebat, tidak bisa dilecehkan, dihina, atau diinjak-injak, dan seterusnya.
Kenyataannya, marah itu suatu bukti kita memiliki pribadi yang lemah.
Marah itu juga menunjukkan sifat dan karakter kita yang sebenarnya, sekaligus mampu membuka aib seteru atau diri sendiri.
Padahal, apapun aib itu semestinya dibersihkan agar tidak mengotori hati dan menjadi sumber penyakit yang menggerogoti jiwa.
Apapun alasannya, kita kudu bijak di saat marah.
Kita belajar untuk bersikap tenang. Dengan menarik napas panjang, kita menenangkan gejolak hati dan berpikir jernih.
Bayangkan jika orang yang hendak kita marahi itu orang yang kita kasihi.
Ajak orang tersebut bicara dengan baik. Jika perlu, kita panggil dia untuk masuk ke ruangan, atau bicara empat mata.
Bersikap bijak itu menjauhkan kita dari aib agar kita juga tidak mempermalukan orang lain.
Jangan bilang mengendalikan emosi atau amarah itu susah.
Sejatinya yang paling susah itu, ketika kita tidak berani belajar untuk memimpin diri sendiri untuk hidup tenang dan damai.