Maudy Ayunda, penyanyi, model aktris film, peraih S2 dari Standford AS, yang masih mencintai budaya sendiri. foto Instagram.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
MAUDY AYUNDA adalah contoh sempurna wanita Indonesia yang tumbuh berkembang sebagaimana sosok yang digagas Raden Ajeng Kartini di Jepara, 100 tahun lalu. Wanita mengembangkan potensi dirinya, cerdas, mandiri, namun tetap membumi. Menjunjung tinggi tradisi budaya sendiri.
Keterlibatannya di industri hiburan di ibukota negerinya, menjadi artis penyanyi, model iklan dan film, tak melupakan tugas sebagai generasi penerus yang terus mengembangkan diri sebagai generasi baris depan. Dia menempuh pendidikan modern, pendidikan barat, tapi tak kehilangan jati dirinya sebagai wanita Indonesia.
Setelah menyelesaikan SMA di British School Jakarta, dia melanjutkan S-1di Universitas Oxford, P.P.E (Politics, Philosophy, and Economics) – lulus 2016 dan meneruskan ke S-2 di Universitas Stanford, M.B.A. (Master of Business Administration) dan M.A. (Master of Arts in Education) – lulus 2021.
Ia bikin heboh para remaja karena sempat bingung memilih diantara Universitad Harvad dan Universitas Stanford – dua duanya kelas dunia dan dua duanya menerimanya sebagai mahasiswa.
Maka tak salah bila pemerintah menugaskannya sebagai juru bicara presidensi G20. Dia public figure, semua yang terucap darinya mudah mencari perhatian. Ini menjawab kritik mengapa tidak para diplomat karir muda yang dipilih untuk posisinya.
Di era digital dimana influencer, memilih public figure yang kompeten adalah keniscayaan.
SEJAK Indonesia memproklamairkan diri sebagai negara merdeka, kita menghadapi tantangan derasnya arus budaya asing. Khususnya dari Barat. Wanita kita khususnya di kota menjadi kebarat baratan .
Belakangan ini serangan budaya asing, bukan hanya dari Barat, Jepang, dan Korea, melainkan juga datang dari jazirah Arab. Dalam balutan agama, wanita Indonesia dibuat merasa bersalah jika tidak berbusana seperti mereka. Perlahan namun pasti, wanita Indonesia kehilangan jati diri budayanya. Ikut kearab araban.
Jilbab, niqab, burqa bukanlah identitas busana muslimah. Sebab kaum Kristen dan Jahudi, Majusi, bahkan agnostik, di kawasan Timur Tengah juga mengenakannya. Tapi kampanye masif lengkap dengan paket ancaman neraka, dari para pendakwah agama, membuat sebagian besar wanita Indonesia tak berkutik. Seperti kerbau dicocok hidungnya. Manut.
Dua puluh tahun terakhir, didukung pendanaan yang berlimpah untuk kampanye dari negeri negeri Timur Tengah, jilbabisasi telah merata di Indonesia. Bahkan di Asia Tenggara.
Negeri Arab Saudi khususnya dan Timur Tengah umumnya, akan segera kehabisan warisan minyaknya. Kini mereka mengubah orientasi ke bisnis jasa dan pariwisata. Devisa diharapkan dari warga negeri mayoritas muslim. Menjajah budaya negeri muslim adalah modus agar kita terus berpikir dan menabung demi “hijrah” dan membelanjakannya ke sana. Berkedok agama.
KAUM puritan yang mabuk agama dan keArab-araban, ala warga gurun pasir, sering protes keras, mengapa pemabuk budaya Barat yang sekuler dan tampil buka bukaan dibebaskan, sedangkan pecinta budaya Arab tempat kelahiran Nabi, dan tampil rapat dinistakan? Dinyinyiri. Bahkan terkesan dilarang?
Jawabannya, para pecinta budaya Barat mudah diIndonesiakan, dikembalikan untuk mencintai budaya Nusantara, budaya bangsa sendiri dan masih bisa membumi. Sedangkan mereka yang mabuk budaya Arab, ala Gurun Pasir, tercerabut dari budaya asalnya. Hilang. Tak kembali lagi.
Lihat lah tampilan terbaru Bunga CItra Lestari ini. Mereka dikenal sebagai pelaku industri hiburan yang biasa tampil kosmopolit dan kerbarat baratan. Tapi masih bisa mengIndonesia, menJawakan diri. Demikian halnya dengan aktris film papan atas, Dian Sastrowardoyo .
Sedangkan perempuan Indonesia yang jilbaban – sekali perempuan memutuskan untuk berjilbab, apalagi pakai burqa – maka akan terkurung selamanya di sana, menjadi penghayat budaya asing dari gurun pasir. Sampai matinya. Tercerabut dari akar budayanya. Hilang keIndonesianya. Susah untuk kembali.
Meski masih hidup, tinggal dan bernafas dan cari nafkah di negeri ini, tanpa menyebut nama kita kenal sejumlah selebritis kondang yang hijrah dan krukuban seterusnya, tidak pakai batikan dan kebaya lagi. KeIndonesianya hanya dalam obrolan dan cap di paspor. Isi kepalanya Arab sentris.
Para pemuka agama terus menggemakan ancaman neraka bagi yang tidak berjilbab, meski secara logika, surga dan neraka masih ilusi, karena tak ada yang telah meninggal mengabar dan bersaksi.
Tak ada yang mampu memaparkan bagaimana suasana di sana yang sesungguhnya. Keindahan dan kenikmatan surga masih fantasi dan dongeng semata.
SEDANGKAN fakta yang tak bisa dibantah, kita lahir di Indonesia, tumbuh besar dari bumi dan air di Indonesia, mencari nafkah di Indonesia dan – sebagian besarnya juga – akan mati di negeri di wilayah Indonesia.
Maka kita jelas berhutang pada Bumi Nusantara yang kasat mata di hari ini. Kita berkewajiban mencintai budaya yang diturunkan oleh nenek moyang yang menurunkan kita hingga di hari ini.
Bahwa bumi ini milik Allah, dan setiap insan itu berhak tinggal di bumi Allah – itu baru klaim sepihak, sebatas yang meyakininya. Orang lain punya keyakinan yang berbeda, dan punya pemahaman sendiri.
Faktanya, kebaya, sanggul, kain songket, sorjan, blangkon, adalah milik kita. Warisan leluhur kita. Sedangkan hijab, jilbab, burqa pakaian jazirah Arab – produk budaya asing.
Juga bukan pakaian umat Islam semata. Sebab di gurun pasir sana, warga Yahudi, Kristiani, Majusi, bahkan agnostik, juga memakai busana yang sama.
Kita berharap penampilan Maudy Ayunda menyadarkan perempuan muda Indonesia kritis, cerdas bangkit, melepaskan diri dari jeratan budaya asing dalam kunkungan agama.
Menyambut Hari Kartini 2022 ini kita gemakan para wanita muda Indonesia , terus meningkatkan potensi diri, mandiri, beremansipasi, ikut aktif dalam memajukan bangsanya, sebagaimana dicita citakan tokoh pencetus emansipasi wanita kita . ***