Menurut Louise Leahy, manusia itu mahluk paradox. Dalam jiwanya bersemayan dua hal yg saling berlawanan. Kebaikan sekaligus kejahatan. Kedermawanan, sekaligus kekikiran. Kecerdasan sekaligus kepandiran. Keindahan sekaligus keburukan. Kemalasan sekaligus kerajinan dan ketekunan. Kebijaksanaan sekaligus sembrono. Kekuatan sekaligus kelemahan. Keberanian sekaligus ketakutan. Rasa sayang dan cinta, sekaligus sirik, culas, dengki, dst…
Jika mendengar, membaca atau melihat langsung dgn mata sendiri, peristiwa yg beredar di sekitar, memang itulah yg terjadi.
Ada jenis-jenis manusia yg tega dgn enteng dan tak merasa bersalah memperalat manusia lain, orang-orang lugu untuk kepentingan diri sendiri. Dengan mengatas namakan kebaikan dan janji-janji indah. Ada yg memanfaatkan kedudukan untuk mengenyangkan perut ketika menempati posisi sebagai pejabat publik, padahal bahkan publik belum melihat atau merasakan apa yg telah diperbuatnya sebagai pejabat publik. Ada yg (dalam pandangan umum) hidupnya sudah ‘sempurna”. Pernah menjadi orang nomor satu. Punya keturunan yg baik secara fisik. Sukses secara materi, bahkan melimpah secara ekonomi. Punya menantu dan cucu-cucu cantik. Tapi, hampir sepanjang hidupnya (yg diketahui publik),…selalu mengeluh. Seolah-olah dia ingin selalu mengesankan bahwa dia orang yg selalu dianiaya. Seolah-olah dunia ini tak adil kepadanya.
Semua itu mengherankan dan “mengagumkan”. Di sisi lain, aku juga heran dan kagum (ini kali sungguhan kagum, makanya tak kuberikan tanda kutip).
Aku memanggilnya Mbak Jamu. Dia tentu saja punya nama. Istriku sebagai pelanggannya, punya nomor WA-nya. Tapi…”Kalok bapak mau panggil saya mbak jamu, pun sudah cukup”…
Tubuhnya mungil. Bahkan untuk ukuran orang Asia. Tapi dalam tubuh mungil itu terdapat semangat, kekuatan dan daya juang yg mengagumkan. Semua kekuatan itu, menurut dugaanku datang dari kemarahan sekaligus perlawanan dan sikap tak ingin menyerah. Dulu, di kampung halamannya di Jawa tengah, suaminya meninggalkan dia dan anak perempuannya yg masih kecil begitu saja tanpa kabar berita. Setelah dirasa cukup menunggu (dia tak hendak bertanya kpd kerabat suaminya apalagi mencari). Dia memutuskan untuk melanjutkan hidup dgn anaknya dan menutup semua cerita tentang suaminya.
Setelah bisa berdamai dgn kemarahannya, dia merantau ke Jakarta. Pertama-tama menumpang di kontrakan kerabatnya yg sdh lebih dulu merantau. Membuat jamu adalah salah-satu atau satu-satunya keahlian yg terpikirkan olehnya untuk survive melanjutkan hidup. Anak perempuannya dirawat, dipelihara oleh ibunya, nenek anaknya. Setelah dia merasa ‘cukup bernafas’ untuk dirinya, barulah dia ‘berani’ mengontrak rumah sendiri.
Besar bakul jamu yg digendongnya, hampir separuh tubuhnya sendiri. Mungkin juga bobotnya, karena berisi botol-botol jamu racikannya, termos, kantong-kantong plastik, bbrp butir telur ayam dll. Tangannya masih menenteng ember plastik untuk mencuci cangkir. Pernah aku tanya, kenapa tak memakai sepeda atau gerobak saja, supaya lebih ringan. Mbak jamu berkata: “Ah, lebih enak begini pak (digendong). Dari rumah kontrakan, saya naik angkot ke-perumahan ini, baru di sini saya gendong. Alhamdulillah, di sini banyak langganan saya”.
Di tubuh mungil mbak jamu, pasti ada kukuatan mental, keyakinan dan kepasrahan sangat besar. Dengan meracik dan menggendong jamu, dia bisa mengontrak di sepetak rumah, lalu mengontrak rumah ‘beneran’, berkamar selayak rumah. Lalu, rumah yg dikontrak itu mampu dibelinya. Selain itu, dia bisa menyekolahkan anak perempuannya sampai perguruan tinggi. Anak perempuannya bekerja di sebuah perusahaan yg menugaskannya ke pedalaman pulau Sulawesi. Di sana, dia mendapat jodoh. Tak lama kemudian, mbak jamu mendapat…cucu. Belakangan, menantunya dipindahkan ke pulau Jawa. Anak perempuannya memutuskan berhenti bekerja untuk menjadi ibu rumah tangga supaya bisa sepenuhnya merawat anak.
Setelah menjadi nenek (aku tetap memanggilnya mbak),…mbak jamu tetap berkeliling, menggendong bakul jamunya.
Menggendong kekuatan mentalnya, menggendong kekuatan jiwanya, menggendong kehidupan!…