Seide.id – “Jangan hanya diam, bicaralah, dan berbuatlah…! Niscaya ada hasilnya,” kata Chrysnanda Dwi Laksana dalam pemeran di Balai Budaya Jakarta, 7-17 November 2022, saat menjelaskan tema pameran ’hambegeg ugeg-ugeg, wayang adalah kita_.’
Filosofinya panjang dan dalam, jika membahas mbegegeg ugeg-ugeg, akan tetapi inti dari semua itu adalah kita diajak untuk terus berupaya dan berusaha berbuat yang terbaik bagi kehidupan agar bermakna, minimal bagi diri sendiri.
Berdasarkan keputusan dan ketetapan Unesco yang menyatakan, Wayang sebagai “Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” pada tanggal 7 November 2003. Sehingga setiap tanggal tersebut bangsa kita memperingatinya sebagai hari Wayang Nasional.
Adalah Chrysnanda di tengah kesibukannya sebagai abdi negara mampu mengumpulkan pernak-pernik wayang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan mancanegara.
Dari berbagai koleksi wayang yang dipamerkan, antara lain seperti bentuk wayang kulit dari daerah Jawa Tengah, wayang golek, wayang beber, lukisan-lukisan wayang, bahkan ada pula lukisan wayang yang kartunal dari karya Pramono dan GM Sudarta (para maestro/mpu kartun Indonesia) yang sarat makna.
Lukisan karya Pramono yang bercorak kartun atau editorial kartun yang dijadikan lukisan sangat menggelitik bahkan ironis. Upaya KPK dalam memberantas korupsi nampaknya bakal sia-sia belaka, karena KPK yang digambarkan sebagai abdi negara dengan perawakan yang sangat kecil harus melawan raksasa (butho) yang ukurannya duapuluh kali lipatnya. Kesannya, terasa sia-sia usaha yang dilakukan oleh KPK dalam memberantas korupsi di negeri ini. Tapi dengan filosofi ‘mbegegeg ugeg-ugeg’ atau berbuatlah, berupayalah niscaya ada hasilnya. Sekecil apa pun usaha yang dilakukan oleh KPK mudah-mudahan bisa menggerus sedikit demi sedikit sikap koruptif di negeri ini.
Bagi para penikmat wayang atau yang mengerti tentang wayang, otomatis ingatannya akan terpusat pada Semar, bila mendengar kata ‘mbegegeg ugeg-ugeg’.
Semar adalah tokoh sentral dalam jagad pewayangan, sekaligus pengasuh para raja dan ksatria. Semar adalah seorang Begawan, sekaligus jadi simbol rakyat jelata, maka tak heran bila ia dijuluki manusia setengah dewa.
Kehadiran tokoh Semar dapat memecah tawa penonton, dan mengingatkan kita tentang nilai kebaikan. Karena itu, Semar disegani, dibutuhkan, dan didengar.
Sejalan dengan filososfi mbegegeg ugeg-ugeg, maka kita dituntut untuk berbuat baik demi bangsa ini, meski pun sedikit, tapi bermakna.
Jan Praba
Pengamat seni dan budaya