Para wartawan yang biasa menulis laporan dan berita untuk masyarakat, menulis kenangan mereka di dapur redaksi – di balik meja. Para jurnalis pensiunan koran sore legendaris, ‘Sinar Harapan ‘ yang dibredel dan dilanjutkan dengan ‘Suara Pembaruan’ menulis kenangan masing masing selama menjadi juru berita dan menjadi buku memoar bersama. Berikut salahsatunya;
Oleh SYAH SYABUR
BAGI sebagian orang, melawan atau memprotes atasan dianggap kurang baik karena atasan adalah orang yang harus dihormati, terutama jika usia atasan lebih tua dibanding kita. Tapi ada juga orang yang tidak berani melawan atasan karena khawatir atasan akan memberi nilai buruk kepada bawahannya yang melawan.
Saya setuju bahwa kita harus menghormati atasan. Tapi atasan (muda atau tua) adalah manusia bìasa, bisa salah bahkan bisa menyebalkan. Saya beberapa kali melawan atasan.
Saat bekerja di koran Suara Pembaruan (SP), sedikit 3 kali saya melawan atau memprotes atasan. Pertama, saya melawan atasan yang sudah pensiun (sekitar 60 tahun) dan termasuk orang yang disegani di kantor sekaligus agak temperamental. Sebaliknya saat itu saya baru berusia 30 tahun.
Waktu itu saya memarahi atasan karena dia bersikap tidak patut kepada atasan langsung saya yang perilakunya sehari-hari sangat santun. Kepada atasan yang berusia 60-an tahun itu, saya bilang bahwa saya tidak terima cara dia memperlakukan atasan saya karena atasan saya tidak salah. Untunglah, dia tidak balik marah dan hanya diam saat saya memarahinya.
Tak lama setelah itu, saya menghampirinya dan meminta maaf karena saya memarahinya. Tanpa banyak bicara, dia pun menerima uluran tangan saya untuk meminta maaf.
Yang kedua, saya melawan atasan yang juga lebih tua dibanding saya. Dia berusia lebih dari 60 tahun dan saya 32 tahun. Selain pernah menjadi Wakil Pemred di kantor, saat itu dia menjadi anggota Dewan Pers, posisi yang amat dihormati kalangan pers Indonesia. Waktu itu dia memuji-muji rubrik Sorotan yang dikerjakan sejumlah redaktur, termasuk redaktur yang membawahi bidang saya.
Pontang-panting
Rubrik tersebut hadir tiap hari secara bergantian dua halaman penuh. Saya kebagian menggarap rubrik budaya. Entah mengapa, waktu itu redaktur Budaya memberi kepercayaan kepada saya untuk menggarapnya, mulai dari perencanaan, liputan hingga editing plus liputan harian yang menjadi tugas saya.
Acara Peluncuran buku “Kami (Mantan) Wartawan SH dan SP (editor Albert Kuhon) pada 26 November 2023.
Memang liputan kadang dibantu teman lain tapi tetap saja hal itu membuat saya pontang-panting sehingga rubrik Sorotan tidak digarap secara maksimal. Desk lain juga saya nilai hampir sama.
Karena itulah saya tidak setuju rubrik tersebut dipuji redaktur senior sebagai penanggung jawab rubrik yang juga mendapat honor khusus. Maka, saya pun bertanya. “Maaf pak, apakah selama ini suka membaca rubrik Sorotan sehingga bapak berani memujinya?”
Spontan sang redaktur senior marah dan menjawab. “Kamu anak bau kencur, tahu apa kamu soal menangani koran?”
Disemprot seperti itu, saya pun membalasnya. “Maaf pak, pertanyaan saya sederhana, apakah bapak suka membaca rubrik Sorotan?”. Melihat suasana rapat yang makin panas, pimpinan rapat pun langsung mengambil alih dan mengalihkannya ke topik lain.
Di lain waktu saya memprotes atasan dalam rapat lengkap yang dihadiri para Redaktur, Redaktur Pelaksana, Wakil Pemred, Pemred hingga Pemimpin Perusahaan dan hampir semua karyawan. Dalam rapat besar tersebut, saya mengatakan, sebagai perusahaan media, SP seharusnya terbuka menerima kritik dan masukan apa pun dari karyawan. Sebab, hampir setiap hari SP menyampaikan kritik kepada pejabat tinggi dan berbagai pihak lainnya. Jadi, kata saya, aneh kalau SP alergi terhadap kritik yang disampaikan wartawan sendiri.
“Di sini, karyawan yang menyampaikan kritik malah dicurigai dan dijauhi. Bukankah perusahaan ini menerapkan prinsip kasih untuk semua? Apalagi di kantor ini ada Bapak Albert Hasibuan yang menjabat sebagai anggota Komnas HAM. Kalau pimpinan alergi terhadap kritik, apa bedanya pimpinan dengan Soeharto yang baru saja kita tumbangkan?”. Begitu kira-kira inti kritik saya yang membuat merah muka para pimpinan.
Bukan masalah pribadi
Tapi seusai rapat, saya menyapa duluan pimpinan yang saya protes saat kami berpapasan di lift. Bagi saya, protes itu bukan masalah pribadi, melainkan masalah pekerjaan. Secara pribadi, saya tidak ada masalah dengan pimpinan.
Kisah 19 Pendekar Pena dari Perguruan Sinar Harapan– Suara Pembaruan yang dibukukan. Disunting jurnalis kawakan Albert Kuhon, dan diperkaya dengan lintasan sejarah pers semasa orde lama, orde baru hingga orde reformasi. Tak luput juga dikisahkan konflik internal di perusahaannya. Penulis duduk ke dua dari kanan, berkemaja biru.
Saat saya mundur dari SP (1999), Albert Hasibuan memberikan sepucuk kertas. Isinya, apresiasi atas dedikasi dan masukan saya selama bekerja di SP. Sebelumnya, Aristides Katoppo juga mengajak saya untuk menjadi anggota Tim Penulis buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang Sumitro Djojohadikusumo.
Saat bekerja di Metro TV, saya juga pernah “menyemprot” atasan. Waktu itu saya sedang menulis di meja dan didatangi salah seorang manajer yang meminta saya membersihkan meja karena akan ada sidak (inspeksi mendadak) dari Surya Paloh (SP), pendiri televisi berita pertama tersebut yang memang tidak suka melihat tempat kerja yang berantakan. Saya pun menyatakan akan segera merapihkannya.
Tiba-tiba, tanpa basa-basi, manajer tersebut mengambil semua kertas yang ada di meja, termasuk kertas yang merupakan untuk bahan berita. Melihat hal itu, saya pun berang dan langsung menggebrak meja. “Anda ini tidak sopan. Padahal saya bilang bahwa saya akan segera merapihkan meja. Mengapa anda seenaknya merampas kertas yang saya perlukan?” kata saya sambal melotot.
Rupanya sang manajer tidak menyangka reaksi saya akan seperti itu. Saat itu juga dia menyadari kesalahannya dan langsung meminta maaf serta mengembalikan kertas yang dirampasnya. Teman-teman yang melihat insiden itu kaget karena sehari-hari saya hampir gak pernah marah.
Ada juga insiden lain saat saya memarahi atasan. Dalam suatu rapat dengan para Koordinator Liputan (Korlip) dan reporter, sang atasan mengeluhkan gajinya yang menurut dia lebih kecil dibandinkan saya yang masih menjawab Prosuser Senior. Ucapan itu diulanginya dalam dua rapat serupa beberapa waktu kemudian.
Tidak terima dengan sikapnya, saya pun langsung protes di depan peserta rapat. “Maaf mas, saya tidak suka sikap anda. Kalau memang gaji anda kecil, itu bukan urusan saya dan teman-teman. Urusan anda adalah mengatasi berbagai masalah yang kami hadapi, termasuk mengurus gaji teman-teman lain yang lebih kecil dari anda!”. Tidak menyangka atas reaksi saya, dia pun langsung meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Itulah pengalaman saya melawan atau memprotes atasan yang bersikap berlebihan. Bagi saya, melawan atasan sudah seharusnya jika atasan memang salah dan berperilaku sewenang-wenang. Yang penting, perlawanan atau protes disampaikan tidak memakai kata-kata yang kasar. (end)