Melawan Kapitalis

Oleh DAHONO PRASETYO*

Mendengar kata Kapitalisme yang terbersit dibenak sebuah “monster” besar menakutkan yang menjadi sebab terjadinya kemiskinan, pengangguran, kolusi, korupsi dan bahaya laten lainnya.

Skema penguasaan ekonomi, politik, kebudayaan dan sendi-sendi di sebuah negara menjadi musuh abadi rakyat, aktifis, organisasi hingga negara yang merasa menjadi korbannya. Kapitalisme yang awal lahirnya efek dari aktifitas perniagaan dan revolusi industri pada abad ke 17, menemukan jodoh Kolonialisme (penjajahan) yang kemudian beranak pinak menjadi monopoli, kolusi, nepotisme hingga oligarki kekuasaan yang mendominasi sistem hidup matinya sebuah negara. Kaum penjajah merebut sumber produksi dengan paksa, lalu menciptakan pasar baru, lalu mengaturnya dengan pola monopoli.

Kapitalisme dalam bahasa didefinisikan sebagai kata kerja aktif, sedangkan upaya anti Kapitalisme menjadi kata kerja juga tetapi bersifat pasif. Disebut aktif ketika sistem kapitalis itu bergerak masif dengan segala manifestasinya, tak terbendung upaya perlawan anti kapitalis yang masih berkerja secara sporadis, individual, temporary.

Dalam teori peperangan ada istilah “penyusupan”. Bagaimana berkamuflase masuk ke dalam sistem musuh untuk melumpuhkan dari dalam. Mempelajari kelemahan dari dalam untuk kemudian menusuk titik lemah secara tepat.

Kapitalisme menjadi sebuah sistem. Melawan kapitalis dengan menjadi “bagian” dari kapitalis adalah skema penyusupannya. Kelompok jaringan pemodal mempunyai hubungan simbiosis yang masingmasing saling menjaga dari kelompok pemodal lain.

Bagaimana mungkin melawan Kapitalis berkedok investor disaat kita sendiri masih bergantung uluran tangan Investor. Era perdagangan bebas menembus batas negara, etnis hingga ke individu.

Belum lagi penetrasi efektifitas pasar online menjadi pilihan yang sulit diabaikan. Kemandirian menjadi semu, upaya perlawanan terbentur tembok sistem. Hingga orasi anti kapitalis hanya bergema di ruang sendiri. Ibarat treadmill, kita tiap waktu berlari, bergerak, berkeringat tetapi tidak pernah kemana mana.

Revolusi industri 4.0 yang hadir beberapa tahun belakangan ini menjadi angin segar bagi para

“penggila” anti Kapitalisme. Skema platform, perdagangan bebas berbasis online, marketplace menjadi ruang masuk menjadi “kapitalis kecil”. Berdagang tidak melulu urusan modal, tetapi siapa lebih sigap merebut pasar dialah yang justru sibuk diperebutkan pembeli. Itupun juga dilakukan para konglomerasi dengan membangun kekuatan branding namun sesungguhnya rapuh dalam kualitas.

Mengejar kuantitas sebagai upaya memutar roda kapital secepat mungkin pada akhirnya akan

memanjakan pasar pada kemudahan transaksi. Urusan kenyamanan produk kembali pada idiom “ada uang ada barang”. Jangan harap ketemu barang berkualitas pada barang yang dijual murah.

UKM online inovatif berbasis individu mendapat ruang berinteraksi dan bertransaksi secara langsung. Keputusan harga, penetrasi pasar dan transaksi elektronik setidaknya sudah  memutus mata rantai birokrasi yang dimonopoli kaum borjuis kapitalis dan kaki tangannya. Setiap orang tertantang untuk berjualan, bahkan sekedar mengejar selisih hanya butuh membantu jualan produk yang ada tanpa repot memproduksi.

Silahkan berimajinasi saat seorang petani bisa menjual hasil buminya langsung kepada konsumen hanya berbekal gadget/laptop. Atau seorang pengrajin souvernir tiba-tiba kebanjiran pesanan dari Eropa gegara rajin posting menawarkan produknya kemana saja dia mau. Tidak mustahil juga seorang mahasiswa sukses mengimpor mesin pertanian, pupuk dan bibit unggul berharga murah untuk dijual lagi ke kampung halamannya. Atau seorang sutradara film dan audio konten kreasinya di YouTube dibayar iklan 200 juta/bulan tanpa repot urus mafia media tayang di TV atau bioskop.

Testimoni kesuksesan pelaku bisnis platform digital bertebaran di sekitar layar gadget. Sambil sesekali memodifikasi skema bisnis digital, menyempurnakan sistem menyesuaikan kebutuhan pasar. Layar digital mempersilahkan kita ambil ide dan sisi baiknya, daripada sibuk sumpah serapah memprovokasi kekecewaan pada keadaan dan mengkritik kebijakan penguasa yang sedang menutup saluran pendengarannya. Capek dan geram makin menumpuk sementara cita-cita, ambisi dan kebutuhan hidup tidak juga menemukan solusi.

Sudah saatnya Kapitalisme berbasis ekonomi dan kekuasaan dilawan dengan “Kapitalisme” berbasis Ideologi. Bagaimana generasi Millenial mengambil kesempatan atas terbukanya era perdagangan bebas. Salah satunya menjadikan Koperasi sebagai patron ekonomi kerakyatan berbasis gotong royong. Menciptakan “kapitalis kapitalis” kecil untuk “mengeroyok” kapitalis besar yang berkolaborasi dengan kekuasaan. Kapitalis besar akan surut dengan sendirinya saat setiap orang menyadari bisa menciptakan kapital (modal) sendiri, berkelompok dalam ikatan ekonomi

30/03/21

*Penulis adalah Master Property Art Director, Alumni Asdrafi (1996), Desain Komunikasi Visual BSI (2005),  penulis skenario FTV dan dokumenter. Terlibat di produksi film dan sinetron. Kolumnis.   

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.