Melawan Stunting di Pantai Utara

Desa Tegalangus hanya satu kilometeran dari Pantai Tanjungpasir, pantai di utara Jawa, yang menghubungkan Kabupaten Tangerang, Banten, dengan Kepulauan Seribu, Jakarta, melalui jalur laut. Setiap hari belasan kapal motor menanti di bibir pantai dan siap mengantar manusia, kebutuhan pokok, dan bahkan sepeda motor dari Tanjungpasir ke Kepulauan Seribu, terutama pulau Untung Jawa, dan begitu pula sebaliknya.

Kegiatan mwlawan stunting di Desa Tegalangus, Tangerang Banten oleh relawan “Halo Puan” (Foto-foto: Dudut Suhendra Putra “Halo Puan”)

Meskipun hanya dua jam perjalanan dari Jakarta, Desa Tegalangus memiliki 150 balita stunting.

Pada Sabtu, 19 Juni 2021, sekitar pukul 10 pagi, diiringi rintik hujan yang membasahi Tegalangus sejak subuh, ibu-ibu dan balita mereka berbondong-bondong mendatangi kantor kepala desa yang menempati kompleks yang  terdiri dan puskesmas desa dan sebuah sekolah dasar negeri, untuk mendatangi bakti sosial Gerakan Melawan Stunting”  yang diadakan oleh  relawan “HaloPuan”.

“Halo Puan” adalah lembaga sosial yang diinisiasi oleh Ketua DPR Puan Maharani untuk membantu masyarakat, di antaranya gerakan melawan stunting (tubuh pendek).

Menurut data, angka prevalensi stunting di Indonesia cukup tinggi, sekitar 30,8% dari jumlah seluruh balita. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata prevalensistunting di dunia sebesar 22%.

Dalam soal stunting, Indonesia menjadi yang  tertinggi ketiga di kawasan Asia Tenggara setelah Timor Leste (50,2%) dan Filipina  (33%). Sementara, di Indonesia, Jawa menempati posisi tertinggi dalam angka  stunting dengan 48,5%.

Presiden telah berkomitmen menurunkan angka prevalensi stunting hingga 14% pada 2024. Tapi, penurunannya  sejauh ini berjalan lamban, hanya sekitar 1,6% per tahun.

Puan Maharani karenanya memandang stunting tidak bisa diatasi oleh pemerintah sendirian. Dibutuhkan kerja sama banyak pihak.

“Penanganan stunting tidak bisa hanya dilakukan pemerintah. Butuh gotong royong dari seluruh pihak dan pemangku kepentingan.

Menurut Poppy Astari, relawan HaloPuan,  banyak masalah sosial di tengah masyarakat yang dapat  diatasi jika politisi mau mendengar dan bekerja bersama warga. “Kerja sama ini tidak hanya menjelang pemilu tapi berkelanjutan,” kata Poppy.

Ada tiga faktor utama penyebab stunting. Pertama, pola asuh; jedua, lingkungan berupa akses kepada air bersih dan sanitasi layak; dan  jetiga, pola makan.

“Jadi, pendek karena faktor genetik itu kecil, hanya menyumbang sekitar  5%,” kata Delvira dari “Halo Puan”. “Maka itu sangat penting untuk mencegah stunting,” kata Adel.
.
Khusus terkait pola makan, Adel mengingatkan ibu-ibu Tegalangus untuk menyeimbangkan asupan gizi, baik itu saat hamil maupun menyusui. Asupan gizi seimbang, dia bilang, terdiri dari karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur,  dan buah-buahan. “Jangan cuma makan pakai nasi dan kecap.”

Untuk membantu menyeimbangkan asupan gizi itu, menurut Poppy, HaloPuan menggali gagasan dari warga, yaitu berupa intervensi bubuk daun kelor. Kelor atau moringa oleifera adalah tanaman yang banyak tumbuh alamiah di tanah Nusantara.

Kelor cepat tumbuh dan tahan terhadap kekeringan. “Di Indonesia kelor biasanya dikenal sebagai pengusir setan,” kata Poppy, “tapi ternyata kelor juga pengusir gizi buruk.”

Beberapa studi menunjukkan kayanya kandungan gizi dan mikronutrisi tanaman ini,  sehingga diyakini secara ilmiah bisa mengatasi malanutrisi dan stunting. Di beberapa negara di Afrika dan Asia, kelor telah dimanfaatkan dan dibudidayakan

“Tapi, ibu-ibu harus ingat, kelor ini bukan satu-satunya nutrisi. Ibu-ibu harus tetap makan telor, ikan, dan lain-lain. Jangan karena sudah ada kelor, ibu-ibu makan kelor terus,” kata Chotim dari “Halo Puan”

Adel mengingatkan, agar ibu-ibu datang ke posyandu untuk memeriksakan kesehatan dan pertumbuhan anak. Jangan baru datang ke Posyandu kalau dipanggil kader PKK.

“Kalau ibu-ibu tidak pernah datang  ke posyandu, kita tidak pernah tahu apakah anak ibu berstatus gizi kurang, buruk,  atau bahkan stunting

Sementara itu, perwakilan PKK Tegalangus, Lilis Suryani, mengungkap bahwa  selama ini warga hanya mengenal dan mengonsumsi daun kelor sebagai sayuran.

“Sekarang kami baru tahu kelor bisa dikonsumsi dalam bentuk bubuk, dibikin teh,  atau dicampur dengan makanan lain.” Dia juga mengakui kondisi anak-anak Tegalangus masih sangat memprihatinkan karena banyak balita yang stunting dan gizi buruk.


“Insya Allah kami mau memanfaatkan kelor ini karena mudah dicari dan gampang diolah.”

Tegalangus hanya dua jam perjalanan mobil dari Jakarta, ibukota negara. Tapi, masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan untuk memastikan anak￾anak Tegalangus bisa menatap masa depan yang cerah.  Karena itu, kerja sama banyak pihak dibutuhkan di sini. (*)

Avatar photo

About Herman Wijaya

Wartawan, Penulis, Fotografer, Videografer