Orang yang temperamental, mungkin akan meledak-meledak, atau menangis, contohnya saya akhir-akhir ini; tetapi ada juga yang kebalikannya, diam dan seperti bersembunyi di dalam gua yang dibangunnya sendiri. Dan, tentu saja tidak semuanya mampu selesai secara instan, seperti kita mengharapkan hal itu dilakukan anak-anak.
Malah bisa lebih berlarut-larut, berjam-jam bahkan berhari-hari. Sampai anaknya bisa bertanya, “Kenapa sih, Mama tuh. Atau, aku nggak ngerti Bapak lagi emosi sama siapa. Marah di luar, tapi diemin semua orang di rumah.”
Dari cara mengekspresikan perasaan itu saja telah tampak gambaran, pada dasarnya setiap orang punya kebutuhan untuk diakui, didengar dan diterima. Ungkapan emosinya. Perasaannya.
Terlebih lagi, sebagai orang tua, kita ingin agar ketika marah, sedih, atau apapun yang kita ekspresikan bisa dimengerti anak. Sehingga, semisal kita marah karena sikap perilaku mereka yang tidak tepat, anak-anak tahu bahwa hal itu tidak kita setujui. Atau, semisal kita sedih karena sebagai kakak adik mereka bertengkar untuk hal yang tak perlu, mereka paham bahwa kita tak menyukainya.
Akan tetapi, apakah mereka paham cara kita berekspresi satu, dan lain hal secara jelas. Bila sedih, jengkel, marah, ekspresi kita akan SAMA, yaitu diam dan mendiamkan semua orang termasuk anak-anak, kira-kira apakah hal itu dapat ditangkap dengan baik?
Pernyataan tersebut bukan berarti juga MELAZIMKAN kita meledak-ledak, meluapkan emosi. Pernyataan Bungsu saya suatu saat mampu mengunci mulut saya untuk berkomentar, “Aku nggak lupa waktu Mami marah tanggal sekian Oktober itu. Apaan itu marahnya kayak gitu?”
Nah!
Sebelum kita proses belajar memvalidasi emosi pada tulisan bagian dua, mari kita memahami dulu pengertiannya. Secara definitif, memvalidasi emosi merupakan sikap dan tindakan mendengarkan, mengakui, dan menerima perasaan orang lain, meskipun perasaan itu negatif.
SELANJUTNYA: Termasuk mendengarkan orang lain…..