Saat ini para orang tua dari suku Jawa sekalipun sudah sangat jarang yang mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Para orang tua masa kini lebih senang mengajarkan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris. Tentu saja anak-anak mereka lebih fasih menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan menggunakan bahasa Jawa.
OLEH YUDAH PRAKOSO R.
ADA dua pendapat mengenai makna dari bahasa ibu. Pertama, bahasa ibu adalah bahasa yang ditentukan oleh suku/etnis dari seseorang berasal dimana seseorang terlahir sebagai suku Jawa, maka sudah secara otomatis bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, demikian pula dengan suku sunda, suku batak dan lain sebagainya. Kedua, bahasa ibu adalah bahasa yang tumbuh dari lingkungan sosial seseorang. Misalkan dia adalah orang Jawa yang lahir di Jakarta yang menggunakan bahasa indonesia sebagai bahasa sehari-hari, maka bahasa ibu orang tersebut adalah bahasa indonesia.
Sebagaimana pentingnya budaya Jawa serta bahasa Jawa dalam kehidupan masyarakat Jawa, sudah semestinya dijaga kelestariaannya. Salah satunya adalah terus menerus mengajarkan kepada keturunan (anak dan cucu) kita. Baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Di rumah, sebagai lembaga pendidikan non formal yang berperan penting dalam upaya penanaman sikap dan karakter pada anak sejak dini sehingga orangtua menjadi salah satu pihak yang dapat memberikan keteladanan kepada anak. Bentuk keteladaan orang tua difokuskan pada tuturan yang digunakan. Tuturan ini dapat dijadikan teladan dibuktikan dengan pengucapan atau perkataan dengan bahasa yang sopan.
Selain tutur kata, perbendaharaan kata dalam bahasa Jawa (ngoko, krama, krama inggil) juga harus sangat diperhatikan oleh orangtua. Semakin banyak kata dalam bahasa Jawa yang diajarkan kepada anak, anak juga akan lebih mengerti dan memahami bahasa atau kata mana yang harus digunakan saat berbicara dengan orang lain.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion – FGD yang bertajuk Penggunaan Bahasa Jawa Sebagai Bahasa Ibu di DPRD Propinsi Daerah Istimewa – DIY, Rabu 31/7.2024 lalu. FGD yang dipimpin oleh Retno Sudiyanti, anggota Komisi A DPRD DIY, dengan menghadirkan dua nasasumber yakni Mas Lurah Dwijasetya Prasetya Prasaja, S.S. dari Dinas Kebudayaan Propinsi DIY, dan Muhammad Bagus Febiyanto, S.S, M.Hum, pengajar di Fakultas Adab Universitas Negeri Islam – UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal tidak kalah pentingnya dalam memberikan keteladanan bagi siswa dalam bertutur dan berunggah ungguh, meskipun dalam kurikulum sekolah Pelajaran Bahasa Jawa sebatas muatan lokal. Apalagi jika melihat dari sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh para siswa adalah di sekolah.
Pada saat di sekolah, guru dan siswa berinteraksi pada saat kegiatan belajar mengajar dan di masyarakat dengan menggunakan tutur bahasa Jawa yang santun (krama dan krama inggil) baik, sehingga baik masih dalam jam belajar maupun di luar jam belajar, siswa masih terus menerus mengaplikasikan keteladanan yang dia dapat dengan bersikap sopan dan bertutur kata sesuai dengan aturan aturan dalam budaya Jawa.
Selain dalam penggunaan bahasa, di sekolah siswa juga diajarkan budaya budaya Jawa lainnya, seperti alat musik khas Jawa, tulisan atau aksara Jawa, pakaian adat dan lain sebagainya.
Tindakan ini dilakukan sebagai salah satu upaya pemeliharaan budaya Jawa, terkhusus bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu untuk masyarakat Jawa pada umumnya. Berbahasa Jawa itu penting karena bahasa Jawa adalah sebagai bahasa ibu sehingga sangat berpengaruh terhadap percakapan dan perilaku seseorang, sehingga, kita sebagai orangtua dan pendidik harus memberikan keteladanan agar budaya Jawa tidak hilang. Sehingga keberadaannya akan terus ada apalagi jika melihat bahwa budaya dan bahasa di luar bahasa Jawa pengaruhnya sangat besar pada kehidupan anak-anak saat ini.
Bahasa Jawa dengan berbagai eksistensi dan implementasinya tidak terlepas dari aspek etika Jawa sebagai kearifan lokal yang pada dasarnya berintikan budi pekerti. Budi pekerti merupakan ikon dari nilai-nilai luhur kearifan lokal masyarakat Jawa, yang secara praktis bersifat kasalira (mendarah daging) dan secara ideologis bersifat sangkan paran (dasar dan tujuan) yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa pada umumnya.
Oleh karena itu bagi masyarakat Jawa, berbahasa Jawa merupakan kemampuan tindakan (ilmu) yang wajar (alamiah) sekaligus sebagai ideologi penyampaian budi pekerti luhur. Dengan kata lain bahasa Jawa merupakan representasi orang Jawa yang berbudi pekerti luhur.
Semenjak bayi, anak-anak Jawa telah diajarkan budi pekerti baik, terutama melalui bahasanya, yakni antara lain sikap menghormati orang lain dan sikap tidak menyombongkan diri (lembah manah). Bahasa Jawa, terutama bahasa Jawa Baru yang berlaku pada saat ini, sangat menekankan aspek tingkat tutur, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah undha usuk.
Tingkat tutur merupakan ciri yang melekat dalam bahasa Jawa, yakni ciri-ciri kebahasaan tertentu yang di dalamnya terkandung makna tingkat-tingkat kedudukan sosial, tingkat usia, dan tingkat kedudukan kekerabatan tertentu di antara para penuturnya. Dengan berbahasa Jawa, akan diketahui tinggi-rendah dan hormat- tidaknya sikap dan kedudukan di antara para penuturnya.
Ragam bahasa Jawa
Hal yang menarik dalam permasalahan ini adalah penggunaan bahasa ragam krama inggil (bahasa Jawa ragam halus), terutama pada saat penutur berbicara dengan orang lain yang belum saling mengenal antara satu dengan lainnya. Berkomunikasi dengan orang asing yang belum pernah dikenalinya, atau baru ditemuinya, orang Jawa pada umumnya dan idealnya selalu menggunakan ragam bahasa Jawa ragam krama inggil. Kondisi semacam ini mengandung pengertian bahwa orang Jawa selalu akan berusaha menghormati orang lain.
Dalam budaya Jawa keadaan itu diajarkan kepada anak-anak Jawa semenjak bayi, yakni agar selalu bersikap lembah manah atau rendah hati dan tidak sombong. Bahasa Jawa ragam krama inggil akan dipergunakan oleh orang Jawa ketika ia menghormati orang lain, yakni: orang asing, orang yang lebih tua, orang yang lebih dituakan karena strata kekeluargaannya, orang yang diktuakan karena kedudukan jabatannya, orang yang kedudukan sosialnya terhormat karena kedudukan perekonomiannya, dan orang yang dihormati karena sikap-sikapnya.
Ragam bahasa krama inggil ini, karena fungsinya untuk menghormati, maka ragam ini tidak dipergunakan dalam suasana memarahi, mengumpat, dsb. Sebaliknya, idealisme lain yang terkandung dalam konsep undha usuk, adalah suasana yang terasa lebih ramah dan egaliter manakala seseorang menggunakan bahasa Jawa dalam ragam ngoko (ragam biasa). Ragam ini secara normatif dipergunakan bagi para penutur yang telah terbiasa, berusia sebaya atau di bawah usianya baik dalam kenyataannya atau dalam rangka kekerabatannya, atau berkedududkan dalam strata sosial di bawahnya.
Di banding dengan bahasa-bahasa yang tidak memiliki tingkat tutur, bahasa Jawa, dengan tingkat tuturnya, justru menawarkan rasa kedekatan dan keramahan yang lebih, di antara penutur yang sama-sama menggunakan ragam bahasa ngoko. Bagi pembicara yang masih mempertahankan rasa hormatnya kepada lawan bicara, sekaligus menawarkan suasana keramahannya, budaya Jawa menyarankan pembicaranya menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko alus, yakni ragam ngoko yang tetap mempertahankan penyebutan-penyebutan tertentu dengan kosa kata ragam krama, misalnya untuk menyebut kowe atau kamu akan dipergunakan kata sampeyan atau bahkan penjenengan, untuk kata lunga atau pergi dipergunakan kata tindak, untuk kata turu atau tidur dipergunakan kata sare. Dengan demikian bila pada ragam ngoko terjadi pertanyaan: kowe ki bar turu arep lunga menyang ngendi?, maka pada ragam ngoko alus menjadi: penjenengan ki lebar sare njur arep tindak ngendi?.
Adapun bagi penutur krama yang menghadapi penutur ngoko, secara adat kebiasaan ia tidak pernah merasa direndahkan, kecuali bila hal itu terjadi dalam kedudukan yang tidak normatif. Artinya, bila para pembicara, secara normatif telah sesuai kedudukannya (usianya, kedudukan sosialnya, kekerabatannya, dan keakrabannya telah sesuai dengan norma yang berlaku), penggunaan ngoko dan krama inggil tidak pernah menimbulkan rasa keterpaksaan dan sakit hati.
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang pada dasarnya terdiri atas dua tingkat tutur utama, yakni krama inggil dan ngoko, yang keduanya menekankan adanya ketepatan sikap hormat dan sikap keakraban. Di samping dalam bentuk tingkat tutur, dalam bahasa Jawa tercatat berbagai hasil seni sastra dengan berbagai bentuk dan jenisnya yang menawarkan berbagai nilai budi pekerti yang senantiasa dimunculkan atau diamalkan sebagai pegangan hidup sehari-hari masyarakat Jawa.
Hasil-hasil sastra dengan berbagai bentuk puisi tembang, prosa, maupun drama berbahasa Jawa, banyak berisi ajaran budi pekerti yang sebagiannya sangat populer dikenal dan dimengerti maknanya oleh masyarakat Jawa
Punahnya Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan warisan luhur yang terancam punah setiap harinya. Menurut data Unesco, setiap dua minggu sebuah bahasa menghilang dengan membawa seluruh warisan budaya dan intelektual. Setidaknya 43 persen dari sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di dunia terancam punah. Kita bisa melihat bahwa saat ini generasi muda sudah sangat jarang yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.
Dari FGD “Penggunaan Bahasa Jawa Sebagai Bahasa Ibu” di DRD Provinsi DIY tercatat sekitar 8 juta orang yang sampai kini masih menggunakan bahasa Jawa.
Sesuai tradisi Jawa jika berbicara kepada orang tua atau yang lebih dihormati seorang anak diharuskan menggunakan bahasa Jawa krama. Penggunaan bahasa Jawa krama tersebut sebagai wujud unggah-ungguh yang dijunjung tinggi masyarakat suku Jawa.
Di tengah gempuran arus modernisasi kebaradaan bahasa Jawa terancam punah. Segala upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa Jawa. Salah satu upayanya dengan mewajibkan pelajaran Bahasa Jawa pada kurikulum sebagai mata pelajaran muatan lokal.
Walaupun demikian, siswa sekolah saat ini pun sedikit sekali yang fasih menggunakan bahasa Jawa (krama). Mereka hanya paham kata nggeh dan mboten karena motivasi mempelajari bahasa Jawa dengan sungguh-sungguh sangat rendah. Anggapan bahwa anak yang menggunakan bahasa Jawa sebagai anak culun dan tidak gaul juga menjadi sebab rendahnya motivasi mempelajari bahasa Jawa di sekolah.
Selain gempuran modernisasi, pola asuh keluarga juga berperan dalam melestarikan bahasa Jawa. Dahulu masyarakat suku Jawa mengajarkan anaknya berbicara menggunakan bahasa Jawa krama. Akan tetapi, saat ini para orang tua dari suku Jawa sekalipun sudah sangat jarang yang mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anaknya. Para orang tua masa kini lebih senang mengajarkan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris. Tentu saja anak-anak mereka lebih fasih menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan menggunakan bahasa Jawa. Bahkan ada anak yang sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa walaupun dia berasal dari suku Jawa.
Jika seorang anak dibersarkan dari keluarga yang menjunjung tinggi adat dan istiadat Jawa, maka setidaknya masih bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa minimal di lingkup keluarga. Akan tetapi, jika seorang anak dibesarkan di lingkungan yang tidak mendukung berkomunikasi dengan bahasa Jawa, maka meskipun seorang anak dididik menggunakan bahasa Jawa lambat laun dia akan terbawa lingkungannya.
Ketiga faktor tersebut memberikan andil terhadap punahnya bahasa Jawa. Lalu bagaimana nasib bahasa Jawa sebagai bahasa ibu sebagain besar masyarakat Indonesia? Ada nasihat bijak dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa bahwa utamakan bahasa Indonesia dengan tetap melestarikan bahasa daerah dan mempelajari bahasa asing. ***