Foto : Splitshire/Pixabay
Seorang cerdik pandai terbahak-bahak, ketika ditanya oleh hati nuraninya sendiri.
“Apa yang aku lihat sepanjang jalan menuju kantor? Jangan permalukan aku dengan pertanyaan konyol seperti itu. Anak kecil juga bisa menjawabnya.”
“Oh ya?! Kau pasti juga tidak tahu banyak…”
Bisa jadi orang cerdik pandai itu cerminan diri kita.
Disadari dan diakui atau tidak, kita sering kali merasa lebih segalanya dibandingkan dengan orang lain. Kita tidak mau disaingi. Ketika dicibir, diremehkan, dan dihina, kita segera reaktif untuk menunjukkan jati diri dan kehebatan kita.
Coba sesekali amati dengan cermat lingkungan di sekitar kita. Misalnya, saat kita membuka pintu rumah lalu menuju halaman.
Apa yang kita lihat setiap hari itu ada yang berubah, berbeda, dan berkurang atau bertambah? Atau selama ini kita tidak peduli dan bersikap masa bodoh?
Hal-hal biasa dan remeh itu sering kali lepas dari pandangan mata. Kita tidak peka dengan keadaan di sekitar. Salah satu faktornya adalah kita kehilangan rasa bersyukur dan terima kasih atas anugerah Allah.
Fakta itu umumnya dimiliki oleh pribadi orang yang tinggi hati, para cerdik pandai, dan pemalas. Mereka cenderung ingin melihat bukti yang spektakuler, instan, hebat, dan menakjubkan! Mereka ingin melihat realita, dengan mata kepala sendiri!
Berbeda dengan pribadi yang rendah hati. Mereka peka untuk menggunakan panca indranya. Untuk mendengar dan melihat dengan hati, lalu memahami karya Allah yang luar biasa itu.
Orang yang rendah hati itu selalu mendulukan kepentingan orang lain dan memahaminya, ketimbang mendulukan kepentingan sendiri. Tidak bermegah, karena menyadari keterbatasannya yang banyak kekurangan dan kelemahan itu.
Sesungguhnya, mukjizat Allah itu terjadi, ketika kita sadar diri dan pahami karya-Nya dalam hidup ini.
Kita diberi nafas kehidupan untuk melihat semua itu dengan mata iman.
“Berbahagialah orang yang tidak melihat, tapi percaya.”
(Mas Redjo)
Melihat Relasi Manusia dan Alam Semesta – Menulis Kehidupan 274