Seide.id – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (disingkat MKRI) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berwenang dalam melakukan Pengujian Undang-undang (Judicial Review), dimana lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang bermula di Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin William Paterson dalam kasus Danil Lawrence Hylton lawan Pemerintah Amerika Serikat tahun 1796.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi kemudian diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika ada suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ tersebut tidak konstitusional. Yang secara singkat bila produk Undang-undang yang diuji tidak sejalan dengan konstitusi yang berlaku.
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), muncul ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia semakin menguat. Yang puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
Dan setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU-MK tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama MPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna MPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, yang kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Dan kemudian tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu MPR, Presiden dan MA.
Setelah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada internal masing-masing, tiga lembaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
MPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H. Kesemuanya yaitu sembilan orang dingkat sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi.
Para hakim menjalankan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Jabatan Hakim Konstitusi berjumlah sembilan orang dan merupakan Pejabat Negara yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Dalam hal ini pemberhentian hakim konstitusi dalam masa jabatannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU MK. Selain itu, sebagaimana diatur dalam UU MK, mulai dari UU 24/2003 sampai dengan UU 7/2020, pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas “permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi”.
Kemudian pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan yaitu mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK. Seandainya terjadi alasan pemberhentian dalam masa jabatan tersebut, pemberhentian oleh Presiden baru dilakukan setelah adanya surat permintaan dari Ketua Mahkamah Konstitusi.
Penggantian Hakim Konsitusi dalam periode jabatannya.
Pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2022, DPR secara tiba-tiba memutuskan untuk memberhentikan paksa Hakim Konstitusi Aswanto (Hakim MK berasal dari usulan DPR) dan menggantinya dengan Guntur Hamzah dalam rapat paripurna tersebut. Padahal secara konstitusional, DPR hanya diberikan kewenangan untuk mengusulkan Hakim Konstitusi, bukan memberhentikannya.
Alasan DPR dalam memberhentikan Aswanto karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Pemberhentian itu adalah bentuk pelanggaran hukum dan merusak independensi peradilan. Secara normatif, pemberhentian ini cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan.
Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun.
Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks, masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.
Dari segi prosedur, DPR dalam pengambilan keputusan pemberhentian ini juga janggal karena dilakukan berdasarkan Sidang Paripurna yang dilakukan tanpa proses terjadwal, sehingga tidak diketahui publik. Selain itu, pemberhentian Aswanto sebagai Hakim Konstitusi juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang dilakukan DPR. Sebab yang bersangkutan tidak ada melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, atau tidak juga melanggar sumpah jabatan Hakim Konstitusi. Dimana alasan yang dikemukakan oleh Komisi III DPR, bahwa hakim yang bersangkutan membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR, tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan dasar pemberhentian seorang Hakim Konstitusi.
Mahkamah Kehormatan MK (MKMK)
Atas dasar gugatan perubahan frasa pembacaan putusan MK yang dibacakan oleh Hakim MK Saldi Isra dalam sidang putusan pada November 2022 lalu, dengan risalah sidang yang diupload ke website Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi membentuk Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) yang beranggotakan 3 orang yang diisi oleh satu orang dari kalangan masyarakat yang mengerti hukum dan konstitusi negara, satu orang akademisi, dan satu orang Hakim Konstitusi yang masih aktif bekerja di MK pada tanggal 30 Januari 2023. Yaitu unsur tokoh masyarakat dan akademisi yaitu Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, Profesor Sudjito yang merupakan Anggota Dewan Etik MK, dan mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Kemudian pada tanggal 20 Maret 2023, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis terhadap Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah karena melakukan pelanggaran kode etik. Guntur Hamzah mengakui melakukan perubahan frasa pada putusan terkait pencopotan Hakim Aswanto oleh DPR. Dalam putusan MK, frasa kata ‘dengan demikian’, di ubah menjadi ‘ke depannya’.
“Menyatakan Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama dalam hal in bagian prinsip integritas. Dua, menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis kepada Hakim Terduga. MKMK menuturkan dampak dari perubahan frasa “dengan demikian” menjadi “ke depannya” telah menyebabkan hilangnya koherensi pertimbangan hukum dalam menegaskan kembali esensi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi.
Kemudian Mahkamah Kehormatan MK juga menyatakan tidak benar terjadi persekongkolan terkait perubahan frasa itu. Hanya saja, apa yang dilakukan M. Guntur Hamzah sebenarnya lazim dilakukan dengan catatan dilakukan tanpa diam-diam dan sudah mendapat izin dari hakim konstitusi lainnya. Karena sudah lazim, dan MKMK merekomendasikan agar dibentuk standar operasional prosedur (SOP) terkait mekanisme apabila ada perubahan frasa. Hal ini penting agar kejadian serupa tak terulang kembali. Tak adanya SOP itu menjadi hal yang meringankan bagi M. Guntur Hamzah.
Etika jabatan.
Dalam merujuk terjadinya penggantian hakim Mahkamah Konstitusi, dimana terlihat telah terjadi akibat adanya kepentingan politik yaitu oleh lembaga DPR dalam mencopot Hakim MK Aswanto usulan DPR digantikan oleh Guntur Hamzah, bahwa hakim yang bersangkutan membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR, sebenarnya tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan dasar dalam pemberhentian seorang Hakim Konstitusi.
Maka sungguh perlu di-ingatkan kedepannya kepada ketiga lembaga negara yaitu DPR, Presiden dan Mahkamah Agung sungguh mampu menghargai keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebagai lemabaga independen dalam bertugas melakukan Pengujian Undang-undang atau Judicial Review atas produk hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku.
Sehingga dengan demikian Mahkamah Konstitusi dapat menjadi lembaga yang sungguh dipercaya oleh masyarakat sebagai muara dari kebenaran setiap produk undang-undang, terlebih Indonesia sedang dalam waktu yaitu Tahun Politik menuju Pemilu dan Pilpres 2024.
Tentunya dalam hal ini Partai Perindo turut sebagai garda terdepan dalam mengedepankan fungsi maksud dan tujuan terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga independen untuk mengawal Konstitusi Indonesia. Dan mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia turut bersama terus berjuang untuk masa depan Indonesia dengan mengawal kehidupan berkonstitusi secara benar dan bertanggung jawab dan berasaskan persatuan Indonesia.
Penulis : Jeannie Latumahina*
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak Perindo