Membaca Pesan Presiden Jualan Madu

Oleh SUNARDIAN WIRODONO

BAGAIMANA membaca sebuah pesan? Apalagi membaca pesan Presiden, dan lebih-lebih lagi,  Presiden Joko Widodo, yang populer dengan nama Jokowi? Tidak mudah. Apalagi dengan bekal apriori.

Apa yang menonjol dalam peristiwa 16 Agustus 2021, ketika Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan di depan parlemen? Baju yang dikenakan. Presiden memakai baju adat suku Baduy. Namun kehebohan yang muncul, lebih karena tuitan seorang yang mengaku jurnalis (padal belum pernah nulis di jurnal), bahwa dengan mengenakan baju itu tinggal jongkok di perempatan jalan jual madu. Para SJW (social joker warrior) puas.

Sama sekali tidak dianggap penting, ketika Presiden mengucapkan terimakasih pada Jaro Saijah, tetua adat masyarakat Baduy yang telah menyiapkan baju itu. Pesan penting lainnya yang juga disembunyikan; “Di tengah situasi genting akibat pandemi, suku Badui, atau Baduy, memegang rekor karena dinyatakan nol kasus Covid-19…”

Mengapa bisa nol kasus? Orang yang cenderung selalu mencari celah, akan ngomong, karena di sana tak ada test-swab, PCR, contact tracing, dan seterusnya. Namun tak pernah mau berkepo lebih jauh, bagaimana peri-kehidupan masyarakat Baduy. Bahkan mungkin juga tak tahu adanya Baduy Dalam dan Baduy Luar. Tidak tahu juga lebih dalam lagi, kasus apa yang terjadi di Baduy Luar dengan adat kepercayaan karuhun.

Masyarakat Baduy tidak asing dengan lockdown atau isoman dan isotiman. Mereka tak hanya punya tradisi ‘nyepi’ sehari dalam setahun di Bali. Atau setiap 35 hari pada Selasa Wage di kawasan Malioboro, Yogyakarta, doang. Mereka punya tradisi kawalu, bulan larangan yang berlangsung selama 3 (tiga) bulan dalam tiap tahunnya.

Menurut petugas medis Puskesmas Cisimet, Leuwidamar, selama 9 bulan terakhir sejak dicanangkannya pandemi nasional, warga Baduy nol kasus Covid-19. Masyarakat Baduy lebih ketat dalam menerapkan protokol kesehatan. Bahkan tetua adat setempat mengimbau masyarakat Baduy tidak ke luar daerah, terutama daerah zona merah penyebaran Covid-19. Aktivitas masyarakat Baduy lebih banyak di rumah dan ladang untuk mengembangkan pertanian.

Petugas puskesmas juga mengoptimalkan edukasi tentang bahaya Covid-19 agar mereka mengetahui penyebaran penyakit yang mematikan itu. Mereka membagikan ribuan masker di permukiman warga, melakukan penyemprotan disinfektan, dan juga menyiapkan wastafel di sepanjang jalan memasuki pemukiman Baduy. Tetua Adat Baduy, Jaro Saijah, yang juga Kepala Desa Kanekes, mengatakan masyarakat suku Baduy dilarang ke luar daerah, seperti Jakarta, Tangerang dan Bogor, karena daerah itu zona merah penularan Covid-19. Mereka yang merantau diminta pulang, dan sebelum masuk pemukiman adat terlebih dahulu menjalani pengecekan kesehatan di Puskesmas setempat.

Presiden Joko Widodo memakai baju adat Suku Badui di sidang tahunan MPR/DPR dan Pidato Kenegaraan Presiden dalam rangka HUT RI ke-76
Presiden Ir. Joko Widodo tampil dengan busana adat Baduy Banten, dan warga Baduy penjual madu di rumahnya. (foto instagram Jokowi dan dok. Heryus Saputro)

Masyarakat Baduy, yang berjumlah 11.600 jiwa, tentu bisa menjadi ‘percontohan’ menarik. Mereka tinggal di sebuah kawasan yang bersifat enclave, satu pintu. Tinggal di Pegunungan Kendeng dengan luas 5.100 hektare tersebar di 65 perkampungan. Batas teritori yang jelas itu, sebenarnya juga bisa dimodifikasi pada daerah dengan batasan wilayah administrasi. Itu soal kebijaksanaan dan kepengetahuan, sekiranya mau menirunya.

Tradisi leluhur sebagaimana ‘kawalu’, menjadi faktor penting, bagaimana di kawasan itu (terutama Baduy Dalam) dilarang melalukan berbagai aktivitas rutin. Yang utama dilakukannya adalah hanya berdoa kepada tuhan semesta alam, agar mereka diberikan keberkahan dan keselamatan. Kawalu ialah mendoa dan menjalankan puasa.

Selama bulan itu, kawasan Baduy Dalam tertutup untuk wisatawan domestik dan mancanegara. Hal itu agar warga Baduy Dalam yang tersebar di Kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikawartana bisa melaksanakan ritual adat dengan doa dan puasa secara khusuk. Masyarakat Baduy Dalam juga dilarang menggelar perkawinan, sunatan anak, atau hal-hal yang bisa menimbulkan keramaian dan kerumunan.

Tentu saja, dengan sistem lumbung yang benar, dan tingkat kebutuhan diatur oleh nilai-nilai yang mereka yakini. Tak ada persoalan dengan yang dinamakan kebutuhan. Berbeda dengan masyarakat modern, yang bisa menghina orang jualan madu di perempatan jalan. Padal, tak ada yang jualan apa pun di perempatan jalan. Biasanya di pinggir jalan.

Pada sisi itu, Jokowi yang pernah melontarkan pentingnya antibodi (di luar urusan prokes), ia ingin menginformasikan bagaimana masyarakat adat, dengan kebijakan lokalnya, bisa kalis dan imun dari pandemi kopit. Begitu juga bagaimana gaya hidup orang Baduy, apa yang mereka makan dan olah. Bagaimana untuk tidak menjadi konsumtif atau serakah, sehingga harus stress dan vertigo, dan berbagai komorbit yang menjadi faktor penting dalam kasus-kasus kematian saudara-saudara kita yang terpapar kopit dalam usia produktif. Bagaimana mereka sebagai masyarakat negara tropis agraris, tidak memenjarakan diri dalam AC dan modernitas salah gaul dan salah memaknai.

Pesan moral yang lain, ribuan pelaku UMKM Baduy yang terpuruk karena dagangan kerajinan mereka ambruk, kembali bersemangat untuk menemukan cara bagaimana bangkit dari keterpurukan. Setidaknya presiden sebagai utusan rakyat, mau menjadi seorang model bagi produk fashion mereka. Sekali lagi, sudut pandang itu semua tergantung pada centhelan. | @sunardianwirodono.

Avatar photo

About Sunardian Wirodono

Penulis, Pewawancara, Desainer TV Program, Penulsi Naskah, Penulis Lepas, tinggal di Yogyakarata