Membaca Seseorang Dari Cara Dia Bicara

Seide.id – Saya pernah menulis orang itu ibarat kaset. Sosoknya sama, tapi kita baru tahu siapa seseorang setelah kaset diputar. Setelah orang berbicara. Kita bisa membaca siapa dia setelah mendengar orang berbicara.

Berbicara dan berbicara ada dua. Bicara yang punya makna dan elok pula menyampaikannya. Ibarat puisi yang indah, ada bobot maknanya, dan jernih pula menuangkannya.

Ada juga bicara yang burem isinya entah mau bicara apa, atau ada konten yang mau disampaikannya tapi cara menyampaikannya kurang jernih. Mungkin berbelit, berputar-putar, tidak nalar, kurang sistematika.

Ungkapan pikiran yang tidak jernih. Ibarat puisi, yang burem isinya, tak jernih pula mengungkapkan, menuangkannya. Dari situ kita bisa menilai penyairnya.

Sahabat Kurniawan Junaedhie kalau tidak salah pernah bilang, kalau penyair yang puisinya jernih, terbaca dari kejernihan menulis esay, jernih menyampaikan buah pikirannya, dan pendapatnya. Puisi yang ditulisnya juga bukan puisi burem, melainkan betul jernih. Goenawan Mohamad salah satunya.

Terus terang tulisan Goenawan Mohamad selalu jernih. Demikian pula puisi-puisinya. Tentu makna jernih di sini, yaitu kalau mau menyampaikan konsep yang katakanlah bulat, disampaikannya tidak gepeng, atau lonjong, melainkan sebulat buah pikiran yang mau disampaikannya.

Kita menyangsikan puisi penyair yang kalau membaca esay-esaynya tidak runtut, kacau sistematisnya, kehilangan logika bahasa, kurang tajam, tidak menukik. Bisa ditebak, seperti itu juga puisinya.

Menulis itu menyampaikan isi pikiran dengan bahasa. Berbicara menyampaikan isi pikiran dengan kata. Tergantung kemampuan sistematika pikirannya, arus pikirannya, dari mendengar seseorang berbicara kita bisa menilai kualitas seseorang. Bicara yang jernih itu, kalimat-kalimatnya bulat tidak bersayap, tapi diksinya elok. Selain dibawa dari bekal sekolah, juga bekal karena banyak membaca.

Akan kelihatan dari apa yang orang tuliskan, cara menuliskan, termasuk cara bicara, atau berpidato, apakah keluar dari orang sekolahan, dan apakah banyak bacaan sastranya.

Apakah ia insinyur, pebisnis, dosen, pendeta, romo, ulama, pendakwah, yang berbicara, dan menulis, bisa terbaca kalau mereka banyak membaca, dan bacaannya sastra. Perhatikan dialog film-film negara maju, kalimatnya bernas dan menyastra. Kalimat yang puitis. Begitu juga bila mereka berbicara.

Di negara maju mahasiswa semua jurusan perlu mengenal sastra. Sekolah lanjutan bahkan hapal dialog Shakespeare, sehingga bicaranya, pidatonya, dialognya, ada bobot sastranya, selain jernih mengungkapnnya..

Berbeda dengan orang politik, pengamat politik, pejabat, yang rata-rata bicaranya bersayap, tidak menukik, alih-alih jernih. Sering bicaranya berputar-putar banyak istilah, yang tidak jelas.

Dari dulu saya senang mengamati bagaimana tokoh, orang-orang dengan nama besar, mereka yang diundang talkshow, rata-rata bicaranya tidak jernih. Apalagi kalau berdebat, sering pokrol. Bukan jarang isi pikirannya melompat-lompat dari satu lajur pikiran berpindah ke lajur pikiran lain. Dalam psikiatri dijuluki flight of idea. Kita menyangsikan calon pemimpin, dari panggung berdebat, yang kalimat-kalimatnya tidak jernih, tidak nalar, malah burem. Bicara yang asal kelihatan seperti pintar bicara, yang meluncur kalimat dan pilihan kata, yang semakin tidak jernih. Di kita orang panggung asal pintar ngomong, tak soal isi omongannya, itu yang dinilai hebat. Itu yang dikagumi.

Cendekiawan yang saya amati jernih bicaranya, Prof Sahetapy almarhum. Bahasanya bagus, cara ungkapnya jernih membawakan buah pikiran yang bernas. Dia memetik peribahasa juga, dan elok bicara, maupun konten yang dibicarakannya.

Pelukis yang langsung melukis abstrak, katanya perlu disangsikan kemampuannya melukis naturalis. Penyair yang puisinya gelap, disangsikan apakah jernih mengungkapkan buah pikirannya dalam tulisan.

Patut merasa beruntung yang sejak dulu menyukai sastra, syukur kalau menggeluti, syukur pula kalau berkarya.

Itu saja, sekadar buat tukar pikiran.

Salam literasi,
Dr Handrawan Nadesul

Ikuti : Setiap Kita Ibarat Sebuah Kaset

Dokter Bisa Salah Pasien Belum Tentu Selalu Benar