Berani menerima kenyataan dan mengakui sebagai suatu kebenaran itu dibutuhkan kebesaran hati. Karena tidak semua orang sanggup menerima resiko itu dengan segala konsekuensinya. Faktanya, demi menjaga reputasi, jabatan, dan nama baik itu banyak orang merancang alibi. Bahkan, jika bisa untuk membeli kebohongan sebagai suatu kebenaran. Berapa pun besaran nilai uangnya, dibayar!
Sekiranya reputasi dan nama baik sebagai amanah hidup, tidak seharusnya kita main-main dengan jabatan yang diamanatkan rakyat. Amanah itu mandat yang harus dijunjung tinggi dan dipertanggung-jawabkan.
Amanah itu juga bukan sebagai penghias bibir. Apalagi, alat untuk pencitraan dan merebut simpati publik. Melainkan kesadaran jiwa agar kita tidak mengecewakan yang memberi kepercayaan itu.
Kita harus menjaga kepercayaan publik. Kita juga telah disumpah sesuai agama yang kita imani. Hal ini berat, karena konsekuensinya di dunia dan akherat.
Langkah sederhana, tapi berat dan sulit untuk menjalankan amanah itu adalah kita diajak bersikap jujur pada diri sendiri dan mendahulukan kepentingan publik.
Jadi pribadi jujur itu tidak mudah. Tapi, apapun tugas dan kewajiban kita, jika didasari sumpah jabatan dan iman, Insya Allah kita mampu menjalankan semua itu dengan baik.
Dengan dilandasi semangat iman, kita sertakan Allah dalam setiap langkah dan mengambil keputusan. Semoga kita mampu memberikan yang terbaik, dan IA berkenan.
Dengan mengasihi keluarga, kita diingatkan untuk sadar diri agar tidak salah langkah. Sehingga kita tidak menyusahan dan membuat keluarga jadi menderita.
Dengan menjunjung tinggi visi misi jabatan, kita diajak mendahulukan kepentingan masyarakat demi kesejahteraan mereka.
“Barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Dan siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”
Milikilah semangat hidup jujur dan benar agar kita semua dilimpahi bahagia.
Foto : Sarah Medina / Unsplash