Hidup ini ibarat membangun rumah. Besar kecilnya rumah, disain, dan bahan materialnya sepenuhnya bergantung kita. Kekokohan rumah dipengaruhi oleh kualitas bahan, pengerjaan yang akurat, dan fondasi yang kuat.
Begitu pula dengan kita. Ibaratnya, kita hidup untuk membangun rumah masa depan. Tempat rindu istirah, setelah kita jalani peziarahan. Hidup yang harus kita pertanggung-jawabkan pada Allah yang memberi.
Diberi sesuatu, baik dari teman, sahabat, atau dari bos itu hal biasa. Bos memberi anak buah itu wajar. Orang kaya memberi kepada fakir miskin itu kewajiban. Tapi, apa kita sadar dan memahami, pemberian itu sebagai wujud perhatian?
Begitu pula dengan hidup kita.
Ketika diperhatikan, sudah semestinya kita sadar diri agar kita memanfaatkannya dengan kesungguhan hati. Kita diberi hidup agar kita menjadi pemilik kehidupan itu dan mensyukurinya sebagai anugerah Allah.
Besar kecilnya rasa syukur itu menunjukkan kualitas hidup kita dalam menanggapi cinta Allah.
Kesadaran dicintai Allah tidak semestinya membuat kita hidup seenaknya atau ala kadarnya. Orangtua saja kecewa, ketika kita menjalani hidup ini secara amburadul. Apalagi Allah yang memberi hidup …
Tidak semestinya anugerah yang diberikan Allah, kita sia-siakan. Kita dipercaya Allah agar kita memanfaatkan kepercayaan itu dengan baik. IA yang memberi, IA pula yang mengambil. Ketika kita setia melakukan perkara-perkara kecil, maka IA akan mempercayai kita dengan perkara yang besar.
Kunci sukses hidup kita adalah membangun kepercayaan yang diberikan Allah. Fondasinya, agar kita melayani sesama dengan baik.
“Siapa ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
(MR)